Bangsa-bangsa umat islam dipermainkan dan sibuk untuk saling salah menyalahkan, sibuk untuk menjadi siapa yang lebih pengikut Nabi dari yang lainnya. Saya sebagai bagian terkecil dari umat ini menjadi sangat berduka. Untuk itu saya coba mengurai dalam sebatas kemampuan daya pikir yang Allah berikan pada saya dalam memahami kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam tubuh umat islam sekarang ini.
Akidah dan Syariat Islam
Islam adalah agama monoteis, tetapi Islam tidak pernah mengajarkan faham fasisme, bahwa segala sesuatunya harus merujuk ke satu pemahaman tunggal, sementara yang lainnya salah dan harus dimusnahkan. Fasis mengajarkan hanya boleh ada satu cita-cita bersama dan cara mencapainya juga harus satu cara bersama.
Dalam Islam, akidah dan syariat menjadi basis dalam bertindak. Artinya tidak ada satu pun tindakan umat islam yang dibolehkan menyimpang dari akidah dan syariat. Akibat efek samping dari penjagaan ini menyebabkan orang-orang yang merasa punya autoriti menggunakan alasan ‘menyimpang dari akidah dan tidak sesuai dengan syariat Islam’ sebagai senjata pamungkas untuk memangkas berbagai macam pemikiran yang lahir dari masa ke masa.
Pihak autoriti dengan senjata ‘akidah dan syariat’ ini lama kelamaan menjadi bersifat otoriter. Dalam Quran manusia selalu diajak untuk terus menerus berpikir untuk melawan kelupaannya, akal dan iman adalah senjata umat islam dalam menghadapi perubahan dan tantangan jaman. Penggunaan senjata ‘akidah dan syariat’ sebagai alasan rujukan untuk berbagai penyimpangan pemikiran, dengan sendirinya terlihat bertolak belakang dengan semangat ‘berpikir dan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah S.W.T’.
Akidah dan Syariat adalah gerbang pembatas diri manusia supaya tidak berlebih-lebihan, dan ketika hilang arah dan tujuan, kedua hukum dasar bagi manusia ini boleh menjadi tempat merujuk kembali. Akidah dan syariat adalah batas-batas dimana manusia harus berjaga-jaga di alam pemikirannya supaya tidak kacau dan sesat. Ianya harus mengendap di dalam sanubari yang paling dalam, dan bukan hanya berada diantara akal dan iman, tetapi ada di dalam keduanya sekaligus.
Kekurangan yang terjadi sekarang ini adalah pihak autoriti keagamaan selalu merasa berada di pihak yang berhak dan berkuasa penuh untuk mendeterminasi pihak lain dengan alasan merekalah yang mempelajari agama Islam dengan benar dan buku-buku keagamaan, lebih mengetahui mana yang sesuai dengan akidah syariat dan mana yang tidak. Sebanarnya dari kacamata pembenaran mana dan siapa mereka memandang diri mereka sendiri?
Bagaimana mungkin seorang ulama yang hanya mengkhatamkan kitab-kitab akidah dan syariah tetapi tidak menyentuh langsung situasi dan kondisi yang terjadi disekitarnya, selain hanya mengambil rujukan dan membandingkannya dengan situasi dan jaman yang tertulis dalam kitab-kitab lampau? Keputusan apa yang bisa diambilnya, sedangkan pikiran dan keputusannya bukan dalam jagaan dan level pesuruh Allah sebagaimana para Nabi?
Sedangkan Nabi pun selalu bermusyawarah dengan kawan-kawan beliau dalam menghadapi setiap persoalan yang baru dijumpainya, mengapa ulama-ulama sekarang merasa punya autoriti untuk menentukan segala-galanya?
Saya sangat salut dan hormat dengan sebahagian ulama-ulama yang menjadikan dirinya contoh dan panutan melalui perbuatan-perbuatan nyata, penulisan-penulisan yang membuka hati dan kata-kata yang logis. Bukan kepada ulama-ulama yang sibuk berdakwah dengan mengambil ayat Quran dan Hadist untuk membenarkan pandangan dan pendapatnya.
Adalah ulama-ulama yang menyentuh langsung jantung persoalan yang terjadi dalam masyarakatlah yang patut kita teladani. Kalau ada masalah pelacuran dan perjudian, maka turunlah para ulama-ulama yang begitu banyak jumlahnya ke tempat-tempat lokalisasi pelacuran dan perjudian, berdakwahlah dengan lembut bukan kekerasan di
Kalau ada masalah pencurian misalnya; sentuhlah permasalahan pencurian yang lebih besar seperti korupsi dan penipuan dalam jumlah besar. Mana yang lebih pantas diperingatkan berulang-ulang tentang hukum dipotong tangannya seorang pencuri ayam yang kelaparan dengan seorang koruptor yang kekenyangan? Turunlah wahai para ulama yang saya cintai, jadikanlah nabi sebagai panutan dalam berdakwah seperti yang selalu kalian ceritakan dalam khutbah. Nabi dalam berkhutbah tidak takut cercaan hinaan dan bahkan pukulan siksaan, demi membawa kembali umatnya ke jalan yang benar. Jangan pada satu sisi selalu menekankan orang supaya mengikuti cara hidup nabi, tetapi di sisi lain ketika masalah menghampiri mengatakan kita ini manusia biasa bukan seorang yang seperti nabi, mana tahan….
Karena itu alasan untuk menuduh seseorang melakukan penyimpangan akidah dan syariat itu sebaiknya dipertimbangkan masak-masak sebelum dilontarkan. Karena akidah dan syariat itu bukan hukum untuk menghukum sembarangan, tetapi ianya harus menjadi hukum yang tumbuh didalam sanubari tiap-tiap individu muslim.
Dalam Islam, setiap insan dilahirkan dalam keadaan suci, bukan berdosa seperti kepahaman umat lain. Karena itu kembalikanlah ia kepada kesucian itu, karena manusia berbuat dosa bukan karena pada dasarnya ia adalah pendosa.
Ijtihad
Al Quran, sunnah dan hadist Nabi, serta kumpulan kitab-kitab yang pernah ditulis oleh ulama terdahulu telah dibakukan sebagai rujukan dalam mencari berbagai jawaban atas persoalan hidup dalam dunia. Sekilas ia tampak benar, tetapi coba kita telaah dan pahami sedikit lebih jauh.
Ramai orang selalu melontarkan kata-kata bersifat apologis seperti ini:
Sudah ada dalam Quran. Dalam Islam sudah pernah dibicarakan. Kitab-kitab terdahulu lebih benar.
Seketika dengan mengatakan ini, kita seolah-olah berhenti untuk bertanya lebih lanjut. Semuanya sudah ada jawabannya. Quran, hadist, sunah dan berbagai kitab ulama terdahulu merupakan jawaban untuk permasalahan yang timbul sesudah jamannya dan sehingga ke masa depan seterusnya.
Argumen bahwa Quran adalah kitab suci yang tak lekang oleh waktu dan tempat menjadi hujah harga mati dan ditempatkan sebagai alasan utama.
Kebenaran-kebenaran mendasar dan berbagai pertanyaan tentang kehidupan, sememangnya sudah termaktub dalam Quran. Karena itulah ia menjadi basis pandangan hidup umat Islam. Tetapi meperlakukan Quran seperti sebuah buku jawaban atas segala pertanyaan adalah jelas-jelas salah!
Al-Quran diturunkan Allah kepada Rasul-Nya bukan dalam sehari. Bukan pula diturunkan sebagai buku jawaban atas segala pertanyaan. Quran diturunkan selama waktu yang diperlukan seorang manusia untuk menjadi dewasa, yaitu 22 tahun lebih hampir 23 tahun. Dengan kata lain, Nabi Allah pun memerlukan waktu sekian lama untuk menerima keseluruhan ajaran Islam dan itu pun adalah keseluruhan dari dasar-dasar utama yang terpenting bagi umat manusia. Tidak ada jawaban instan yang diturunkan oleh Allah, melainkan manusia selalu diajak berpikir dan berpikir dan berpikir dengan melihat apa-apa yang sudah Allah berikan di semesta dunia ini.
Ijtihad yang perlu dilakukan umat islam dewasa ini bukanlah ijtihad ala pendiri mazhab lagi, karena jumlah pemikiran dan ahli-ahli pikir tidak sesedikit jaman dahulu. Akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak sesulit jaman dahulu. Selain itu jarang sudah ada seseorang bisa menghabiskan waktunya hanya untuk mengerjakan satu hal. Kehidupan sekarang menuntut manusia untuk saling berbagi dan saling mengingatkan, sebab itu Allah memberitahu manusia untuk selalu amar ma’ruf nahi mun’kar.
Perdebatan intelektual, pertukaran pikiran dan diskusi-diskusi adalah penting sebagai bagian dari ijtihad di kalangan umat islam. Penafsiran-penafsiran kembali ajaran-ajaran islam adalah penting bagi menghadapi cobaan dan tantangan di masa hadapan. Kalau dahulu Quran lebih sering ditafsirkan oleh seorang demi seorang, saat sekarang ini dengan sudah banyaknya berbagai buku2 tafsir, maka dalammenafsirkan Quran sebagai induk ilmu bagi umat islam, bukan lagi hanya didominasi oleh seorang pakar agama sahaja. Menafsirkan kitab suci umat islam ini bukan hal mudah, karena itu bersatulah para cerdik cendekia, para pakar dari berbagai ilmu pengetahuan teknologi, dan para intelektual dari berbagai latar belakang. Duduklah bersama-sama, tafsirkanlah Quran untuk konteks jaman sekarang dan persiapan masa depan nanti, rujuklah kembali semua kitab-kitab tafsir terdahulu, lengkapi, sempurnakan, dan teliti kembali penafsiran yang terdahulu. Upaya penafsiran ini bukan berarti lampu hijau agar boleh mengubah-ubah kandungan dari Al Quranul Karim, bukan! Penafsiran kembali Quran secara kontemporer adalah sebuah ijtihad besar bersama yang buakn didasarkan pada kepandaian seorang dua orang, tetapi seluruh umat islam di dunia. Penafsiran kembali ini melengkapi, mengembangkan, menyempurnakan apa-apa sudah pernah ditafsirkan sebelumnya oleh cerdik cendekia dan ulama terdahulu. Syak wak sangka yang menghantui umat islam bila mendengar ada upaya penafsiran Quran secara kontemporer adalah dugaan sebuah ancaman adanya upaya mengotak-atik Islam. Sebuah syak wa sangka yang menjadi fitnah berbahaya, tetapi memang harus dicermati terus. Apakah kita hanya merapatkan badan kita ketika shalat berjemaat, tetapi tidak merapatkan hati kita pula? Apakah kita hanya berbaris bershaf-shaf ketika shalat menghadap Allah tetapi tidak membuat benteng berlapis bershaf-shaf manakala menghadapi musuh manusia yang nyata yaitu Syaintannirrazim?
Ijtihad bersama umat islam dalam pemikiran dan tindakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dunia adalah sebuah keupayaan membentengi umat islam sendiri dari serangan-serangan pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Comments