Skip to main content

Mondar - mandir

Sebagai seseorang yang mengaku muslim, terdapat sebuah kekangan dalam ketakutan tersesat. Banyak juga buku-buku yang menyatakan apa-apa yang disampaikannya adalah demi kemaslahatan umat semata. Dalam buku-buku semacam itu dikutip dari berbagai sumber yang menyoroti beberapa nama dan karya tulis cendikiawan muslim yang dianggap telah tersesat, sebagian dituduh kafir sebagian dituduh zindiq atau setidaknya dituduh kaum munafik. Buku-buku semacam itu disertai dengan ancaman yang dinisbatkan menurut hukum dalam Quran dan hadist, sehingga sesiapa yang membaca apalagi sampai mempelajari tokoh-tokoh 'sesat' beserta karya-karyanya akan menjadi pengikut hingga ke neraka kelak. Alangkah menakutkannya.

Karena itu Aku yang sejak duduk di kelas menengah pertama menyukai bacaan bersifat keislaman, relijiusitas dan renungan-renungan spiritual, disamping membaca komik, menjadi sangat takut bersentuhan dengan subjek-subjek yang dituduhkan oleh buku-buku semacam itu. Sehingga membutuhkan waktu tiga tahun sebelum Aku memberanikan diri membaca tulisan Nietzsche.

Namun setelah lama bersentuhan dengan subjek-subjek larangan semacam itu, Alhamdulillah, saya menjadi kenal dan tahu duduk permasalahan manusia. Dan sungguh Allah itu Maha Besar, dan sungguh hebat senjata Akal yang diberikan Allah SWT yang disertai pasangan senjata-Nya yaitu Iman. Pusat ilmu dalam keislaman adalah sang Khaliq, sedangkan pusat ilmu di luarnya banyak berpusat pada manusia sendiri, dan kecenderungan terakhir justru pusat ilmu tersebut hendak dimusnahkan. Ilmu menjadi tidak mempunyai pusat, terjadi banyak titik temu-titik temu persinggungan yang mudah membawa kepada kebingungan. Masing-masing ilmu menjadi terspesialisasikan, masing-masing menciptakan legitimasinya sendiri, masing-masing menciptakan dan meniadakan pusat-pusat ilmunya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘