National Geogarphic baru-baru ini menurunkan artikel tentang Islam di Indonesia.
Kadang kala terpikir juga, apakah para Islam fundamentalis hidup berbahagia dengan segala keketatan aturan hidupnya yang diklaim mengikut kesempurnaan ajaran Islam dengan menjalankan hukum Allah.
Kalau ditanya secara langsung pasti jawabannya adalah iya, tanpa ada keraguan terlintas.
Seperti apakah idealnya penerapan hukum Islam di Indonesia yang notabene nyaris 90% penduduknya adalah muslim. Indikasi bahwa Indonesia seharusnya berlandaskan hukum Islam sebenarnya sangat kuat, sayangnya, apakah kalau dilaksanakan suatu referendum nasional untuk memungut suara mayoritas umat Islam saja akan diperolehi kenyataan yang sama?
Saya tidak punya kapasitas untuk menduga-duga hasil yang mungkin muncul dari situ. Tapi untuk membayangkan sebuah Indonesia yang islami saja sudah sangat berat, mengingat mentalitas bangsa, visi dan misi kebangsaan yang sudah cukup porak-poranda akibat ketidakbecusan pemerintahan di masa lalu.
Barangkali yang perlu dilakukan untuk itu adalah mengenalkan dan mempraktekkan cara hidup islami di tengah-tengah masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat non-muslim dapat merasakan manfaat dari keberadaan hukum Islam yang bukan dipraktekkan melalui hukum-hukuman dengan alasan syariat.
Karena walau bagaimanapun hukum Allah itu pada akhirnya dijalankan kepada manusia, dan yang menjalankannya adalah juga manusia, bukan malaikat-malaikat yang tidak mengenal nafsu, ego, dan pikiran seperti manusia. Untuk menjamin tegaknya praktek penegakan syariat Islam ini dibutuhkan bukan hukum di atas hukum, tetapi hukum di dalam diri manusia itu sendiri.
Jadi, sebelum menaikkan hukum Allah menjadi praktek di tengah masyarakat, umat Islam di Indonesia harus sudah mempraktekkan jalan hidup islami terlebih dulu, bukan melalui paksaan dan ancaman yang datang dari manusia (sekalipun dengan dalih itu hukuman dari Allah), tetapi kesadaran yang timbul dari kebutuhan seorang muslim akan adanya hukum Allah dalam dirinya.
Ini adalah sebuah jihad, jihad untuk menciptakan negeri yang islami bukan melalui kekerasan ataupun utopia yang muluk-muluk. Segala yang sudah nyata dinyatakan haram harus ditegakkan, tetapi jangan menyata-nyatakan hal-hal yang sifatnya adalah supaya manusia berijtihad mencari hikmahNya. Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita, melakukan poligami bagi pria yang mampu atau pengharaman seni musik dan seni rupa dan sebagainya adalah hal-hal perlu melalui proses yang ketat. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, semuanya untuk memartabatkan manusia sendiri, tetapi dalam menyampaikannya kita tidak boleh lupa bahwa keikhlasan itu penting, jauh lebih penting daripada hukuman dan larangan. Karena keikhlasan inilah yang membuat seorang wanita pezina berani menghadapi kematian melalui hukum rajam ataupun cambuk. Ikhlas tidak dapat dipaksakan, sebagaimana seseorang itu juga harus ikhlas kalau hidayah tidak diturunkan Allah kepadanya. Keikhlasan tidak dapat diperolehi lewat cara-cara kekerasan, hukuman seperti rajam dan cambuk yang mungkin membawa kepada kelumpuhan hingga kematian akan menjadi sia-sia kalau tidak disertai keikhlasan dari dalam diri pelaku. Sementara dosa tidak terampuni, detik-detik untuk bertobat pun bisa datang terlambat.
Dalam sejarah, Nabi pada akhirnya memimpin perlawanan terhadap kaum kafir Quraisy setelah menunggu sekian lama perintah dari Allah. Berperang adalah pertimbangan jalan terakhir yang ditempuh oleh Rasulullah. Dan alasan untuk berperang pertama kali dilakukan bukanlah karena kaum kafir Quraisy menghina Allah ataupun menghina ajaran Islam, ataupun karena menghina diri Nabi sendiri. Tetapi berperang untuk mendapatkan kembali hak mereka, kemudian berperang untuk mempertahankan diri, dan berperang melalui kemenangan psikologis ketika berhaji dan pulang ke Mekkah. Sekarang yang terjadi seringkali berubah menjadi tindak kegananasan, mungkin hanya sebagian kecil yang demikian tetapi akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Umat Islam gampang tersulut api kemarahan yang berlebihan kalau ajaran Islam dicemarkan, Nabi dilecehkan, atau kebenaran Allah diusik.
Padahal masih banyak cara-cara beradan dan diplomatis yang belum banyak ditempuh. Padahal kalau umat Islam bersatu meskipun dengan kepelbagaian perbedaan kultur dan tingatkan pengamalan syariatnya, kalau umat Islam kokoh, siapa yang berani mempermainkan mereka?
Kita berhak untuk marah, kita juga berhak untuk bertindak keras, karena kita bukanlah seperti Rasulullah, kita juga bukan malaikat Allah, kita hanya mampu mengikut sunnah dan perilaku Nabi tetapi kita tidak akan dapat seperti Rasulullah. Kalau memang mengikuti langkah Nabi, hendak sebagai seorang muslim kita dahulukan toleransi, kita dahulukan sikap lemah lembut sekalipun pada musuh kita, kita dahulukan musyawarah untuk mufakat, kita dahulukan apa-apa yang didahulukan oleh Rasulullah ketika memimpin umat Islam.
Kadang kala terpikir juga, apakah para Islam fundamentalis hidup berbahagia dengan segala keketatan aturan hidupnya yang diklaim mengikut kesempurnaan ajaran Islam dengan menjalankan hukum Allah.
Kalau ditanya secara langsung pasti jawabannya adalah iya, tanpa ada keraguan terlintas.
Seperti apakah idealnya penerapan hukum Islam di Indonesia yang notabene nyaris 90% penduduknya adalah muslim. Indikasi bahwa Indonesia seharusnya berlandaskan hukum Islam sebenarnya sangat kuat, sayangnya, apakah kalau dilaksanakan suatu referendum nasional untuk memungut suara mayoritas umat Islam saja akan diperolehi kenyataan yang sama?
Saya tidak punya kapasitas untuk menduga-duga hasil yang mungkin muncul dari situ. Tapi untuk membayangkan sebuah Indonesia yang islami saja sudah sangat berat, mengingat mentalitas bangsa, visi dan misi kebangsaan yang sudah cukup porak-poranda akibat ketidakbecusan pemerintahan di masa lalu.
Barangkali yang perlu dilakukan untuk itu adalah mengenalkan dan mempraktekkan cara hidup islami di tengah-tengah masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat non-muslim dapat merasakan manfaat dari keberadaan hukum Islam yang bukan dipraktekkan melalui hukum-hukuman dengan alasan syariat.
Karena walau bagaimanapun hukum Allah itu pada akhirnya dijalankan kepada manusia, dan yang menjalankannya adalah juga manusia, bukan malaikat-malaikat yang tidak mengenal nafsu, ego, dan pikiran seperti manusia. Untuk menjamin tegaknya praktek penegakan syariat Islam ini dibutuhkan bukan hukum di atas hukum, tetapi hukum di dalam diri manusia itu sendiri.
Jadi, sebelum menaikkan hukum Allah menjadi praktek di tengah masyarakat, umat Islam di Indonesia harus sudah mempraktekkan jalan hidup islami terlebih dulu, bukan melalui paksaan dan ancaman yang datang dari manusia (sekalipun dengan dalih itu hukuman dari Allah), tetapi kesadaran yang timbul dari kebutuhan seorang muslim akan adanya hukum Allah dalam dirinya.
Ini adalah sebuah jihad, jihad untuk menciptakan negeri yang islami bukan melalui kekerasan ataupun utopia yang muluk-muluk. Segala yang sudah nyata dinyatakan haram harus ditegakkan, tetapi jangan menyata-nyatakan hal-hal yang sifatnya adalah supaya manusia berijtihad mencari hikmahNya. Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita, melakukan poligami bagi pria yang mampu atau pengharaman seni musik dan seni rupa dan sebagainya adalah hal-hal perlu melalui proses yang ketat. Semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, semuanya untuk memartabatkan manusia sendiri, tetapi dalam menyampaikannya kita tidak boleh lupa bahwa keikhlasan itu penting, jauh lebih penting daripada hukuman dan larangan. Karena keikhlasan inilah yang membuat seorang wanita pezina berani menghadapi kematian melalui hukum rajam ataupun cambuk. Ikhlas tidak dapat dipaksakan, sebagaimana seseorang itu juga harus ikhlas kalau hidayah tidak diturunkan Allah kepadanya. Keikhlasan tidak dapat diperolehi lewat cara-cara kekerasan, hukuman seperti rajam dan cambuk yang mungkin membawa kepada kelumpuhan hingga kematian akan menjadi sia-sia kalau tidak disertai keikhlasan dari dalam diri pelaku. Sementara dosa tidak terampuni, detik-detik untuk bertobat pun bisa datang terlambat.
Dalam sejarah, Nabi pada akhirnya memimpin perlawanan terhadap kaum kafir Quraisy setelah menunggu sekian lama perintah dari Allah. Berperang adalah pertimbangan jalan terakhir yang ditempuh oleh Rasulullah. Dan alasan untuk berperang pertama kali dilakukan bukanlah karena kaum kafir Quraisy menghina Allah ataupun menghina ajaran Islam, ataupun karena menghina diri Nabi sendiri. Tetapi berperang untuk mendapatkan kembali hak mereka, kemudian berperang untuk mempertahankan diri, dan berperang melalui kemenangan psikologis ketika berhaji dan pulang ke Mekkah. Sekarang yang terjadi seringkali berubah menjadi tindak kegananasan, mungkin hanya sebagian kecil yang demikian tetapi akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Umat Islam gampang tersulut api kemarahan yang berlebihan kalau ajaran Islam dicemarkan, Nabi dilecehkan, atau kebenaran Allah diusik.
Padahal masih banyak cara-cara beradan dan diplomatis yang belum banyak ditempuh. Padahal kalau umat Islam bersatu meskipun dengan kepelbagaian perbedaan kultur dan tingatkan pengamalan syariatnya, kalau umat Islam kokoh, siapa yang berani mempermainkan mereka?
Kita berhak untuk marah, kita juga berhak untuk bertindak keras, karena kita bukanlah seperti Rasulullah, kita juga bukan malaikat Allah, kita hanya mampu mengikut sunnah dan perilaku Nabi tetapi kita tidak akan dapat seperti Rasulullah. Kalau memang mengikuti langkah Nabi, hendak sebagai seorang muslim kita dahulukan toleransi, kita dahulukan sikap lemah lembut sekalipun pada musuh kita, kita dahulukan musyawarah untuk mufakat, kita dahulukan apa-apa yang didahulukan oleh Rasulullah ketika memimpin umat Islam.
Comments