Tiada Ilahi selain Allah.
Semakin hari kita semakin sering dan mendengar begitu mudahnya orang-orang yang merasa, mengaku, dan mengkalim sendiri bahwa dirinya mempunya otoritas untuk menyatakan pihak lain sebagai jahil, sesat, atau tidak tahu sehingga ekstrimnya mengatakan kekafiran seseorang yang lain atau kelompok yang lain. Selalu ada kita dan kalian, kita dan yang lain.
Suatu ketika selepas solat saya merenung sejenak, subuh baru beranjak. Dalam hati saya, Islam mempunyai argumen tertinggi pada kalimat syahadah, Tiada ilahi (Tuhan) selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan-Nya.
Kata Allah sendiri bukanlah sepotong kata, bukan sepotong nama atau sekedar penamaan. Dimana manusia pada umumnya menyebut sesuatu nama untuk sesuatu benda, sehinggalah Tuhan pun terjerembab pada kebendaan dan di rasa perlu diberikan nama. Sebenarnya agak sulit pada awalnya untuk melepaskan sebuah sebutan, nama atau sejenisnya tanpa objek tanpa konteks bersifat kebendaan (material). Allah bukanlah sebuah wujud kebendaan sebagaimana dipahami fisik manusia. Susahnya jaman ke jaman, banyak teori dan kritisisme berpikir yang menuntut manusia berpikir dan berargumen sehingga mendesak pemikiran bersifat keagamaan terpinggir karena dianggap tidak punya daya kritis yang sesuai jaman.
Padahal kalimat syahadah itu sendiri mempunya tingkat pemikiran yang tinggi, yang mana dapat mudah dipahami dengan pola pikir sederhana dan naif, gak ada Tuhan selain Allah, sampai kepada pemikiran ribet dan kritis, tiada ilahi selain hanya satu Ilahi, yaitu Allah, yang bukan sebuah objek kebendaan atau sekedar nama.
Dari kalimat syahadah ini kalau hendak dicocok-cocokkan dengan gaya berpikir kritis linguistik kontemporer, sebenarnya justru terbalik. Justru gaya berpikir kritis kontemporer yang baru muncul belakang hari inilah yang memberi penjelasan lebih mendalam kepada kalimat syahadat yang singkat sederhana.
Kalimat keimanan Islam, kedua kalimat syahadat semakin hari akan semakin mendalam untuk dipahami manusia di masa depan. Ibaratnya dulu manusia hanya kenal air, kemudian uap air, kemudian partikel-partikel pembentuk air, kemudian atom dan sub-atom dari partikel pembentuk air, dan seterusnya. Air itu sendiri tidak berubah maknanya bagi manusia. Orang awam hanya akan memandang air sebagai elemen penting dalam kehidupan sehari-hari untuk minum, masak dan menyuci. Orang ilmuwan memandang air sebagai elemen penting bagi pembentukan kehidupan di bumi. Orang religius memandang air sebagai elemen sakral dalam ibadah.
Kalau kita pandang tetapi jangan memandang semata dari segi kebendaan, maka Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan-Nya, adalah pendahulu kepada pemikiran kontekstual kritis jaman kini. Renungkan frasa ini ‘tiada teks selain Teks, dan kata-kata adalah representasi Teks. Islam mempunyai keunikan tersendiri yang sudah merupakan ketentuan Allah. Dimana Islam diturunkan di jaman yang manusianya sudah lebih rasional menggunakan akalnya. Diutus-Nya melalui seorang manusia yang ummi tidak tahu menulis dan membaca tulisan. Diturunkan dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa dan tulisan yang paling tidak berkembang, tetapi justru masih lebih asli dibandingkan bahasa/tulisan bangsa lain yang jauh lebih maju. Serta diturunkan ditempat bangsa yang menjadi contoh era manusia jahiliyah.
Allah adalah Teks, tapi bukan teks dalam pengertian teks sebuah buku. Teks dalam konteks bahasan kritis adalah segala sesuatu yang dapat di-indera oleh manusia, baik verbal maupun visual. Dalam konsep ketauhid-an, dapat ditambahkan Teks juga merupakan konsep relijius atau termasuk yang non-eksisten dan juga bersifat spiritual. Allah adalah Teks tapi tidak serta merta dapat disubstitusikan. Frasa ini hanya sebagai sebuah analogi untuk menunjukkan bahwa kalimat syahadah sendiri mengandungi konsep pemikiran yang demikian kritis yang tak lekang oleh jaman, justru baru dapat dipahami lebih mendalam ketika pemikiran manusia kian kritis dari hari ke hari.
Muhammad, nabi besar umat Islam adalah representasi atau utusan dari Allah. Dalam analogi ini, tiada teks selain TEKS, dan huruf-huruf yang membentuk kata-kata yang dapat dibaca dan dipahami manusia adalah representasi dari TEKS tersebut.
Andaikan ada sekelompok pemikiran kritis yang hendak memfalsifikasikan argumentasi dalam Al-Quran, justru bahkan baru dari kalimat syahadah sebagai fundamental rukun Islam saja sudah mendahului pemikiran kritis tersebut.
Analogi sedemikian memerlukan pembacaan yang ketat terhadap sejarah berbagai jenis pemikiran dan perkembangan kontemporernya. Kalau tidak akan muncul asumsi-asumsi yang mendiskreditkan sebuah pemikiran. Pendiskreditan yang paling lumrah sekarang dilakukan adalah menuduh ‘kafir’. Padahal tuduhan yang satu ini sangat sangat berat, malangnya begitu enteng dan mudahnya sebutan kafir menghiasi berbagai buku-buku keagamaan islam. Sesuatu yang menyedihkan. Di puncak keimanan terdapat dua kalimat syahadah dan didasar terbawahnya adalah kemurtadan dan atau ke’kafir’an.
Nabi Muhammad memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin teladan, ia tidak pernah secara langsung mengklaim dirinya sebagai pemimpin atau penguasa. Dalam perpolitikannya, ia sendiri tidak mengungkapkan secara langsung apa-apa yang ia lakukan adalah sebagai sebuah gerakan politik. Semua perilaku dan tindakan Rasul adalah memberi contoh kepada manusia, kepada mereka yang menjadi pemimpin, kepada mereka yang menjadi penguasa, tanpa Rasul sendiri pernah mengklaim dirinya sebagai seorang pemimpin ataupun penguasa, melainkan,”Hamba hanyalah pesuruh Allah.”
Comments