Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 13

Perbedaan pendapat, perdebatan, pertentangan, pertikaian dan peperangan.

Umat islam bersatu dalam perbedaan, berbeda penafsiran namun semua dikembalikan kepada Allah S.W.T.
Pertama-tama haruslah dipahami dahulu bahwa nama atau sebutan Allah bukanlah berlandaskan konsep seperti nama atau panggilan pada manusia. Asma Allah bukanlah konsep nama seperti panggilan untuk manusia. Sebutan asma Allah adalah untuk memberi pemahaman kepada manusia.
Tiada Tuhan selain Allah, tiada illah selain Allah. Tiada tuhan selain Tuhan. Allah bukanlah nama tuhan. Allah adalah Tuhan, nama-nama Allah adalah penyebutan untuk menandakan kekuasaan-Nya. Tuhan sendiri tidak bernama, Allah adalah Allah, itu bukanlah konsep penamaan sebagaimana manusia menamakan benda-benda, dan Allah itu bukan benda.

Hanya Allah S.W.T yang absolut, hanya Allah yang satu, semua ciptaan berasala dari-Nya dan diciptakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dari perbedaan yang sangat tipis sampai yang sangat jauh, dari perbedaan yang nampak kasat mata sampai yang tak kasat mata.
Kebenaran Absolut hanya ada pada Allah, karena itu timbul pemahaman bahwa risalah kebenaran yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah kebenaran yang absolut pula. Akibatnya orang-orang yang mendalami ilmu agama islam akhirnya menyadari kebenaran absolut dari Allah dan kemudian dalam implementasinya berusaha untuk melegitimasi apa yang ia pelajari dan ia sadari itu. Implikasinya adalah setiap orang yang mendalami ilmu agama beragumen bahwa mereka kembali pada ajaran Allah berpegang pada Al-Quran dan pengikut sunah Nabi melalui Hadist-hadistnya.
Masing-masing punya pengikut, masing-masing pengikut mempunyai pengikut pula dan seterusnya hingga ke akhir zaman. Lalu pengikut yang satu bertemu dengan pengikut yang lain, masing-masing mempertanyakan kebenaran absolut yang mereka pelajari dan yakini.

Allah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan-perbedaan bukanlah untuk saling berperang, mendeterminasi, mendominasi atau melegitimasi siapa benar dan siapa salah. Tujuan Allah menciptakan perbedaan sederhana saja, supaya manusia saling mengenal, supaya manusia menggunakan akal fikirannya, supaya manusia melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.
Kalau tiap-tiap orang yang mempertikaian kebenaran absolut milik Allah sesuai dengan yang ia dan pengikutnya pahami, apakah yang akan terjadi pada dunia kita ini?
Kalau tiap-tiap dari mereka kelak ditunjukkan bahwa semua yang mereka pertikaikan itu bermuara kepada satu, yaitu Allah S.W.T akankah mereka masih bertikai dan berpecah-belah?

Alim Ulama adalah perpanjangan tangan Nabi, tetapi alim ulama ini, mereka bukanlah Nabi sendiri. Kebenaran Absolut adalah kepunyaan Allah semata, dan manusia yang menerima risalah kebenaran absolut di tangan pertama hanyalah Nabi Muhammad. Alim Ulama seharusnya menyadari posisinya bukanlah penentu benar dan salah, mereka adalah penyampai risalah dan menjadikan diri mereka sebagai contoh hidup cerminan dari apa yang diajarkan Nabi dan menjadi pembimbing jiwa-jiwa yang bimbang.
Kalau alim ulama ingin menulis risalahnya sendiri, silahkan saja, tetapi janganlah selalu meletakkan kata pengantar yang mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Menjeneralisir pihak-pihak yang menjadi musuh islam dengan istilah-istilah 'memperturutkan hawa nafsu', 'ilmu-ilmu sekuler', 'universitas-universitas barat', 'jumud', 'sekolah pondokan yang kolot' dan berbagai nada perkataan yang menjurus kepada pendiskreditan pihak-pihak tertentu.

Madrasah atau pesantren atau pondokan atau sekian sebutan lain untuk sekolah tradisional umat islam adalah sebuah institusi pendidikan yang tidak mengenal perbedaan antara ilmu-ilmu agama, religius, spiritual dengan ilmu-ilmu pengetahuan teknologi. Perputaran sejarah di eropa lah yang kemudian mengakibatkan di sana terjadi perpecahan dan pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan teknologi.
Institusi pendidikan yang dibangun Islam tidak mengenal pemisahan ilmu agama spiritul dan ilmu pengtahuan teknologi, tapi yang terjadi kemudian justru kita menjadi ikut-ikutan melabelkan ada ilmu sebenarnya ilmu yaitu agama dan ilmu diluar ilmu agama adalah ilmu-ilmu sekuler yang sering dipandang berbahaya bagi keimanan.
Hal ini pada gilirannya mengakibatkan dikurangkannya bahkan pada titik esktrim ditiadakannya pembelajaran ilmu-ilmu pengetahuan teknologi daripada institusi pendidikan islam tradisional seperti madrasah, pesantren dan pondokan. Sementara itu Eropa yang akhirnya dilabelkan sebagai 'barat' pun memisahkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Muncullah istilah sekuler, sekulerisasi dan sekulerisme.

Kemunduran umat islam akhirnya membawa kepada titik terburuknya dan pada gilirannya madrasah, pesantren dan pondokan hanya menjadi basis tempat belajar agama islam saja. Dan diluar daripada itu adalah sekolah-sekolah yang dilabel mengajarkan ilmu-ilmu sekuler. Sungguh menyedihkan, umat islam yang membangun metode pendidikannya secara mandiri pada akhirnya terikut-ikut memisahkan agama dan pengetahuan.
Padahal dalam sejarahnya, madrasah selalu menjadi pusat pendidikan dan perjuangan bangsa-bangsa muslim yang dijajah kolonial eropa. Ketika bangsa-bangsa kolonial tidak mau melihat bangsa-bangsa yang ia jajah menjadi pintar, madrasah, pesantren dan pondokan adalah pusat perlawanan melalui pendidikan.

Sekarang ini kita lihat sendiri, alim ulama sibuk melabel-labelkan pemikiran, pemahaman, ilmu-ilmu, orang-orangnya yang ia nilai berbeda dari dirinya. Yang ini melabelkan yang itu, yang itu melabelkan yang ini. Perbedaan-perbedaan dibuat bukan untuk saling mengenal tapi untuk saling mendiskreditkan, saling menajamkan perbedaan sehingga menjadi pertikaian, pertikaian yang sampai pada titik ekstrim menjadi pertumpahan darah dan peperangan antara umat yang mengaku 'Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya' dikarenakan urusan label dan diskreditasi.
Hal ini memang menyedihkan, tetapi kalau memang inilah kehendak Allah terhadap umat islam maka aku hanya dapat berserah diri dan memohon ampunannya kalau-kalau aku berada di pihak yang salah dan berdosa.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘