Ketika dulu aku dilanda kegalauan hati karena berpapasan dengan berbagai masalah perangai teman-teman yang sulit aku pahami, guru mengaji selalu menjadi tumpuanku untuk bertanya. Dan beliau akan menenangkan hatiku dengan menjelaskan sifat-sifat manusia diantara yang baik dan buruk dengan merujuk kepada Quranul Karim, sunnah dan hadist Nabi, disertai kisah-kisah yang menarik. Lalu aku banyak belajar memahami sifat dan perangai orang lain, dan mencoba untuk dapat menerima dan melihatnya dari sudut pandang lain.
Manusia pada fitrahnya adalah baik dan bersih, tetapi kemudian kehidupan merubahnya, karena itu panduan hidup dari Allah S.W.T dalam bentuk agama perlu diamalkan untuk mengembalikan dan mengendalikan hidup manusia kepada fitrahnya kembali.
Tetapi aku merasa sedih, ya, Allah, manakala melihat orang-orang dekatku sendiri yang aku tahu mereka sebenarnya baik,lebih menjaga ibadah dan juga lebih fasih membaca ayat-ayat-Mu daripada hamba ini, tetapi mereka seperti kurang mawas diri. Ya, Allah, aku merindui diskusi dan penerangan yang pernah engkau berikan melalui wejangan guru mengajiku dulu.
Kujumpai seorang teman yang keras pendirian atas apa yang ia yakini, sehingga tampaknya kehilangan keterbukaan untuk berdiskusi dan membatasi perbincangan sebatas yang ia pahami sahaja. Kecenderungan keyakinan itu bedampak memunculkan sifat pongah pada dirinya, dan sulit untuk menerima perbedaan dan cenderung ingin mendeterminasi orang lain.
Kujumpai pula seorang teman yang lain, yang kurang berdaya intelektual tetapi punya keinginan ke arah sana. Namun sayangnya, seringkali terjebak hanya mengulangi atau mengumpani apa-apa yang diucapkan atau pemikiran orang lain yang mempengaruhi dirinya. Sikap ingin mendeterminasi pun muncul pada dirinya.
Kujumpai lagi seorang teman yang lain pula, selalu bertutur kata lembut dan dalam berargumen selalunya menceritakan sifat-sifat mulia Nabi. Sikap dan tingkah lakunya menjadi terlalu tampak berhati-hati, ia memiliki pemikiran sendiri tetapi seringkali terlalu percaya pada anggapan-anggapan yang dibuatnya sendiri. Pada akhirnya sulit untuk berkomunikasi kalau terdapat pola pikir yang melawan haluan cara pikirnya.
Kujumpai lagi seorang teman yang paling rajin beribadah dan membaca buku-buku para ulama. Walaupun kadang terlihat bimbang diantara kepercayaan diri dan kekurang percayaan diri yang melanda sikap dan mentalitasnya.
Dari keempat teman-teman ini aku jumpai sifat selfish dan ego yang kuat yang seringkali bersifat emosional, sementara itu di pihak lain kekurangan yang agak memiriskan adalah terjadi kedangkalan berpikir karena hanya melihat dari aspek tertentu yang dirasakan aman dan tidak ada keberanian atau kebersediaan untuk mendengar dan mencoba memahami haluan pikiran yang kontras atau bertentangan.
Emosional dan merasa diri benar, kemudian kedangkalan berpikir yang menggiring kepada kemalasan berpikir semakin hari semakin banyak melanda umat Islam. Di tengah-tengah kebangkitan ilmu-ilmu Islam, intelektual Islam jumlahnya bukannya semakin bertambah sebanding dengan perkembangan ketertarikan orang-orang terhadap kajian ilmu pengetahuan dan spiritual Islam. Yang terjadi justru, semakin banyak orang-orang yg phobia dan cenderung menutup diri terhadap intelektualisme ilmu-ilmu Islam. Umat Islam sendiri, terutama segolongan tertentu dengan hujah-hujah semakin membentengi diri dan menciptakan musuh-musuh imajinernya sendiri.
Ajaran Islam, kalam Allah yang tersurat dan tersirat mengajak umat manusia untuk menjadi pandai dan intelektual tanpa jatuh kepada kemiskinan rohaniah. Iman dan ilmu tidak pernah boleh dipisahkan, pemisahan itulah yang mengakibatkan kejatuhan mentalitas manusia. Umat Islam dituntut untuk menjadi intelektual yang tidak pernah memisahkan ilmu dan iman.
Sejarah turunnya ajaran Islam, bukanlah perjalanan spiritual seorang nabi yang menjumpai Tuhannya. Tetapi adalah perjalanan spiritual yang terus menerus berdampingan dengan masalah kehidupan yang nyata. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w sepanjang hayatnya selepas menerima perintah kenabiannya. Nabi yang dulu menyendiri ke tempat sunyi, kemudian setelah menerima wahyu setiap hari pergi menjumpai orang-orang dengan membawa risalah-Nya. Secara manusiawi, dengan demikian maka Nabi adalah orang yang punya daya pikir dan intelektual serta keterbukaan yang tinggi. Kelebihannya sebagai manusia adalah beliau dibawah bimbingan langsung dari Allah sehingga menjadi seorang yang maksum tetapi tidak pongah dengan jabatan kerasulan yang dimilikinya, melainkan dengan itu beliau semakin sadar diri. Sifat-sifat inilah yang seharusnya menjadi pedoman dalam berkehidupan umat manusia, apalagi uamt islam yang sudah dibekali dengan serangkaian ibadah formalitas untuk membina jiwa dalaman sehingga tidak perlu lagi mencari-cari atau memandai-pandai menciptakan metode beribadah sendiri. Cukuplah kiranya apa yang sudah Allah beri petunjuk kepada Nabi, tidak perlu kita menambah-nambah dari segi formalitas beribadah. Sedangkan untuk urusan berpkiran berurusan dengan kehidupan sosial dan sebagainya, pegangan kita adalah Al Quran. Disanalah garis-garis besar pemikiran keilmuan dari sudut Islam tersedia. Islam adalah petunjuk ke jalan yang benar, dan seorang muslim perlu menunjukkan dirinya melalui sikap-sikap yang islami. Kedangkalan berpikir akan menggiring umat islam kepada membentuk kongkongan dan batasan-batasan sempit terhadap apa itu sikap yang islami. Dan emosional bukanlah sikap yang muncul dari mereka yang beribadah dengan benar.
Manusia pada fitrahnya adalah baik dan bersih, tetapi kemudian kehidupan merubahnya, karena itu panduan hidup dari Allah S.W.T dalam bentuk agama perlu diamalkan untuk mengembalikan dan mengendalikan hidup manusia kepada fitrahnya kembali.
Tetapi aku merasa sedih, ya, Allah, manakala melihat orang-orang dekatku sendiri yang aku tahu mereka sebenarnya baik,lebih menjaga ibadah dan juga lebih fasih membaca ayat-ayat-Mu daripada hamba ini, tetapi mereka seperti kurang mawas diri. Ya, Allah, aku merindui diskusi dan penerangan yang pernah engkau berikan melalui wejangan guru mengajiku dulu.
Kujumpai seorang teman yang keras pendirian atas apa yang ia yakini, sehingga tampaknya kehilangan keterbukaan untuk berdiskusi dan membatasi perbincangan sebatas yang ia pahami sahaja. Kecenderungan keyakinan itu bedampak memunculkan sifat pongah pada dirinya, dan sulit untuk menerima perbedaan dan cenderung ingin mendeterminasi orang lain.
Kujumpai pula seorang teman yang lain, yang kurang berdaya intelektual tetapi punya keinginan ke arah sana. Namun sayangnya, seringkali terjebak hanya mengulangi atau mengumpani apa-apa yang diucapkan atau pemikiran orang lain yang mempengaruhi dirinya. Sikap ingin mendeterminasi pun muncul pada dirinya.
Kujumpai lagi seorang teman yang lain pula, selalu bertutur kata lembut dan dalam berargumen selalunya menceritakan sifat-sifat mulia Nabi. Sikap dan tingkah lakunya menjadi terlalu tampak berhati-hati, ia memiliki pemikiran sendiri tetapi seringkali terlalu percaya pada anggapan-anggapan yang dibuatnya sendiri. Pada akhirnya sulit untuk berkomunikasi kalau terdapat pola pikir yang melawan haluan cara pikirnya.
Kujumpai lagi seorang teman yang paling rajin beribadah dan membaca buku-buku para ulama. Walaupun kadang terlihat bimbang diantara kepercayaan diri dan kekurang percayaan diri yang melanda sikap dan mentalitasnya.
Dari keempat teman-teman ini aku jumpai sifat selfish dan ego yang kuat yang seringkali bersifat emosional, sementara itu di pihak lain kekurangan yang agak memiriskan adalah terjadi kedangkalan berpikir karena hanya melihat dari aspek tertentu yang dirasakan aman dan tidak ada keberanian atau kebersediaan untuk mendengar dan mencoba memahami haluan pikiran yang kontras atau bertentangan.
Emosional dan merasa diri benar, kemudian kedangkalan berpikir yang menggiring kepada kemalasan berpikir semakin hari semakin banyak melanda umat Islam. Di tengah-tengah kebangkitan ilmu-ilmu Islam, intelektual Islam jumlahnya bukannya semakin bertambah sebanding dengan perkembangan ketertarikan orang-orang terhadap kajian ilmu pengetahuan dan spiritual Islam. Yang terjadi justru, semakin banyak orang-orang yg phobia dan cenderung menutup diri terhadap intelektualisme ilmu-ilmu Islam. Umat Islam sendiri, terutama segolongan tertentu dengan hujah-hujah semakin membentengi diri dan menciptakan musuh-musuh imajinernya sendiri.
Ajaran Islam, kalam Allah yang tersurat dan tersirat mengajak umat manusia untuk menjadi pandai dan intelektual tanpa jatuh kepada kemiskinan rohaniah. Iman dan ilmu tidak pernah boleh dipisahkan, pemisahan itulah yang mengakibatkan kejatuhan mentalitas manusia. Umat Islam dituntut untuk menjadi intelektual yang tidak pernah memisahkan ilmu dan iman.
Sejarah turunnya ajaran Islam, bukanlah perjalanan spiritual seorang nabi yang menjumpai Tuhannya. Tetapi adalah perjalanan spiritual yang terus menerus berdampingan dengan masalah kehidupan yang nyata. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w sepanjang hayatnya selepas menerima perintah kenabiannya. Nabi yang dulu menyendiri ke tempat sunyi, kemudian setelah menerima wahyu setiap hari pergi menjumpai orang-orang dengan membawa risalah-Nya. Secara manusiawi, dengan demikian maka Nabi adalah orang yang punya daya pikir dan intelektual serta keterbukaan yang tinggi. Kelebihannya sebagai manusia adalah beliau dibawah bimbingan langsung dari Allah sehingga menjadi seorang yang maksum tetapi tidak pongah dengan jabatan kerasulan yang dimilikinya, melainkan dengan itu beliau semakin sadar diri. Sifat-sifat inilah yang seharusnya menjadi pedoman dalam berkehidupan umat manusia, apalagi uamt islam yang sudah dibekali dengan serangkaian ibadah formalitas untuk membina jiwa dalaman sehingga tidak perlu lagi mencari-cari atau memandai-pandai menciptakan metode beribadah sendiri. Cukuplah kiranya apa yang sudah Allah beri petunjuk kepada Nabi, tidak perlu kita menambah-nambah dari segi formalitas beribadah. Sedangkan untuk urusan berpkiran berurusan dengan kehidupan sosial dan sebagainya, pegangan kita adalah Al Quran. Disanalah garis-garis besar pemikiran keilmuan dari sudut Islam tersedia. Islam adalah petunjuk ke jalan yang benar, dan seorang muslim perlu menunjukkan dirinya melalui sikap-sikap yang islami. Kedangkalan berpikir akan menggiring umat islam kepada membentuk kongkongan dan batasan-batasan sempit terhadap apa itu sikap yang islami. Dan emosional bukanlah sikap yang muncul dari mereka yang beribadah dengan benar.
Comments