Skip to main content

MEMBACA WAJAH KOMIK KITA

Bagaimana rupa dari wajah komik kita sekarang ini? Adakah ia mulai berbentuk dan semakin rupawan? Ataukah ia seperti wajah sang gadis yang tersembunyi di balik cadar? Adakah ia masih ragu-ragu atau kurang pede memperlihatkan wajahnya yang mungkin masih penuh jerawat? Membicarakan rupa dari wajah komik Indonesia, boleh dibilang berbicara tentang hal yang paling dilematis di negeri yang masih kesulitan minat baca dan daya beli buku. Meski tak bisa dipungkiri peminat dan pembeli buku komik jumlahnya cukup signifikan, namun hal itu bukan sesuatu yang menggembirakan karena belum dianggap bernilai positif dalam pandangan stereotip awam.

Buat yang masih sempat mengecap kedigjayaan komik-komik lokal dibilangan tahun 60-an hingga 80-an, sudah barang tentu menemui banyak perubahan-perubahan yang signifikan dalam mengenali dunia perkomikkan nasional masa kini. Membacakan kisah-kisah komik di masa depan mungkin sudah akan menjadi alternatif pilihan bagi bagi para orangtua, meski sebenarnya kegiatan membaca buku komik biasanya dilakukan dengan sangat intim, antara si anak dan buku komiknya sendiri.

Keluhan yang tiada habis bak linangan air mata tentang meluasnya dominasi komik-komik terjemahan yang tertancap kian kuat, tanpa diimbali jumlah karya-karya komik anak bangsa di pasaran nasional. Keluhan lain ada di dalam mata masyarakat kita sendiri, yang kadang masih kolot dengan pandangan bahwa komik adalah bacaan yang diperuntukkan bagi anak-anak, pandangan ini sebenarnya sudah jauh ketinggalan zaman. Untuk menepis anggapan itu dibeberkan sedikit fakta berikut ini.

Di negara penghasil komik seperti Perancis, Amerika, dan Jepang yang industri komiknya sudah menjadi penghasil devisa tersendiri bagi negaranya. Penggila acara-acara komik semacam pameran dan bursa yang justru lebih banyak didatangi oleh orang-orang dewasa. Tak ketinggalan komik juga menjadi bahan kajian bagi keilmuan, tak kurang pakar semiotik seperti Umberto Eco pernah mengulas komik Krazy Kat-nya Herriman, serta E.H. Gombrich seorang sejarawan seni membahas khusus tentang karikatur, saudara dekat komik, pada salah satu bagian di bukunya Art and Illusion. Genre dan tema komik tumbuh dengan sangat beragam adalah hal yang sudah pernah disinyalir oleh pengamat komik Arswendo Atmowiloto di tahun 1982, katanya, “Komik bila dilihat dari sejarah dan hasilnya, mampu menampung permasalahan sosial, politik, agama, filsafat, sejarah, perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain dalam kebudayaan.” Komik-komik pun sudah dikategorikan secara ketat di negara-negara maju yang disebutkan sebelummnya..

Membanjirnya komik-komik terjemahan dari Jepang, tak luput dari kemudahan penerimaannya di publik komik tanah air. Melirik dari jumlah dan isi komik Jepang yang dipanggil Manga itu, bisa kita bayangkan bagaimana luasnya penerimaan komik itu sendiri di dalam budaya kontemporer Jepang saat ini. Komik-komik yang diproduksi dengan biaya murah ini dinikmati bak cemilan, dan tak ada bedanya dengan majalah, tabloid dan surat kabar.

Sementara itu komik-komik tipis penuh warna dan dengan tata artistik yang beraneka rupa dari komik-komik negeri Paman Sam, yang sempat terhenti produksi terjemahannya, kini akan muncul kembali bersama pemain lama seperti Indira dan penerbit baru PMK. Komik ini memperlihatkan kecenderungan yang berbeda, dimana komik mempunyai nilai koleksi tersendiri bagi para penggemarnya. Di daratan Eropa, dengan mengambil contoh industri komiknya Perancis, komik sudah dibiasakan sebagai medium penuangan ide dan pemikiran kritis meski tetaplah menghibur, dengan pencapaian tingkat artistik yang terus-menerus dikembangkan oleh para seniman komiknya, dan menjadi sumber inspirasi bagi komikus dunia lainnya. Industri komik beberapa negara di Asia yang mulai tumbuh subur seperti Hongkong dan Kore, turut mengambil jatah kue pasar selera publik komik di Indonesia dengan genre komik silatnya serta petualangannya.

Kemajuan komik juga sudah sampai pada posisi dimanfaatkannya komik sebagai media atau alat penyampai pesan yang efektif baik visual juga verbalnya. Dijelaskan oleh Will Eisner, pencetus istilah novel grafis, bahwa, “Buku komik merupakan montase kata dan gambar. Seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal secara verbal dan visual bersamaan. Resim seni (seperti: perspektif, komposisi, sapuan kuas) dan resim literatur (seperti: tata bahasa, plot, sintaksis) keduanya menjadi saling terataskan. Membaca komik adalah sebentuk upaya melakukan persepsi estatik (keindahan) dan pengejaran intelektual. Saya bandingkan komik sebagai seni merangkai adegan (sequential art).” Bukti lainnya adalah untuk kesekian kalinya komik pun di beri penghargaan khusus. Joe Sacco, menjadi terkenal sebagai jurnalis komik lewat salah satu karyanya Palestine, yang diganjar hadiah American Book Award 1996.

Melalui salah satu surat elektroniknya, Uwi Mathovani yang pernah terlihat sebagai editor pada komik Dua Warna karta Alfi Zachkyelle dan komik Alakazam karya Donny Kurniawan, mengemukakan pendapat bahwa memang publik umumnya masih menganggap komik sebagai bacaan anak-anak. Kalau ditilik dari jenis cerita dan artwork dari komik-komik yang beredar dewasa ini, jelas paradigma semacam itu sudah tidak relevan lagi katanya. Sebagian cerita komik bahkan sudah lebih didominasi dengan cerita-cerita yang cocoknya untuk pembaca usia remaja. Contohnya, komik-komik Jepang yang dominasi cerita-cerita remaja, seperti serial cantik dan misteri. Komik silat Hongkong yang dipenuhi cukup banyak adegan perkelahian, sedangkan komik Eropa hampir semua yang diterbitkan disini diperuntukkan pembaca segala usia.

Bertolak belakang dengan pendapat umum bahwa komik merupakan bacaan bagi anak-anak ini, bukankah di dalam negeri pun sebetulnya sudah dapat kita temui buku-buku komik agama, filsafat, politik dan sejarah serta budaya, seperti serial for beginners tokoh intelektual terkemuka, seri mengenal asal mula budaya Cina, seri filsuf Tiongkong Klasik, kisah Sam Kok, Jengis Khan, butir-butir mutiara Al-Ghazali dan sekian banyaknya komik-komik kisan para nabi san sahabatnya, serta komik-komik tokoh dunia lainnya. Ini menunjukkan bahwa komik telah diolah menjadi media penyampai pesan yang efektif untuk hal-hal yang serius dan mendidik.

Yang ramai dibicarakan belakang hari ini adalah kehadiran jenis penerbitan mandiri yang biasa dipanggil indie (independent) atau underground, gerakan yang sedang dan terus melakukan counter culture, suatu gerakan melawan arus pendiktean industri komik mainstream baik dari segi distribusi maupun ideologi. Karenanya muncullah komik dengan cerita-cerita yang lebih dewasa dan berorientasi individualis yang sudah cukup berkembang, walaupun memang dengan cakupan distribusi yang terbatas di kalangan tertentu saja. Para pelaku komik indie / underground ini ada yang pernah juga terlibat dalam industri komik mainstream, seperti yagn dialami Beng, Ahmad Zeni, Wisnoe Lee, yang dari makan gaji, lalu pindah jalur independen, dan berkesempatan kembali komiknya diterbitkan resmi. Menurutnya nilai-nilai penting yang diperjuangkan dalam komik adalah nilai edukatif, egaliter dan juga rekreatif. Hal lainnya yang banyak menjadi bahan diskusi di internet, harapan seperti yang diungkapkan komikus dengan inisial Zeus bahwa kelak komik bisa dipandang sebagai sebuah karya seni oleh awam, dan komik lokal bisa menjadi tuan rumah sendiri yang artinya bisa memberi penghidupan yang layak bagi para pekerja kreatifnya.

Bercerita tentang rimba perkomikkan Indonesia, pastilah membawa kenangan tersendiri bila diperdengarkan kembali kisah-kisah kejayaan komik-komik nasional di masa lalu. Penyebutan “rimba” bagi dunia perkomikan Indonesia, hanyalah sebuah keisengan belaka dalam memandang wajah perkomikkan nasional, dimana perkomikkan di Indonesia bisa dibayangkan seperti sebuah rimba raya yang belum terjelajahi. Mengalami stagnansi selama lebih kurang dua dekade sejak surutnya produksi komik nasional tahun 70-an, kini rimba perkomikkan Indonesia laksana hutan hilang yang ditemukan kembali dan mulai dipapaki oleh para penjelajahnya. Sebuah rimba raya yang masih belum dikenali seutuhnya, diman ada penjelajah yang hanya menelusuri tepian pinggirannya, ada pula yang nekad mencoba menerobos ke dalam kelebatannya, di dalamnya ada yang berani membangun koloni baru, ada yang tak jera walau gagal, namun tidak sedikit yang masih memandang angker dari kejauhan saja.

Macam apa ‘rimba raya’ perkomikan tanah air ini? Kalau kita berjalan-jalan di arena bazaar komik yang semakin hari semakin rajin dilangsungkan di beberapa kota di Pulau Jawa, seperti Surabaya, Malang, Solo, Yogyakarta, Bandung, dan tentu saja ibukota Jakarta, akan ditemukan hal keunikan dalam setiap pameran komik yang berlangsung tersebut, yaitu jumlah peserta pameran dari komikus-komikus mandiri dan penerbitan arus bawah tanah justru lebih banyak, daripada peserta pameran yang berasal dari penerbitan-penerbitan resmi dan besar. Hal yang sangat kontras berkebalikan kalau perhatian kita alihkan pada rak-rak toko buku yang besar-besar, jarang sekali ditemukan komik-komik seperti yang ada di pameran. Penggerak dan penggiat acara ini datang dari kalangan civitas akademika dari kampus-kampus di kota-kota yang disebut sebelumnya, belakangan pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan mulai melirik kegiatan yang satu ini pula. Belum bisa ditebak ke arah mana ini akan berjalan, apakah ramainya pameran komik lokal ini sebuah simbol penambah semaraknya dunia hiburan dewasa ini, ataukah ia menjadi suatu gerakan menuju kemandirian dan bukan sekedar mencuri perhatian publik sekejap sahaja.

Sebagian orang bersuara lirih bila diajak berbincang tentang masa baru komik Indonesia. Untuk memberinya semangat, bolehlah dinyatakan di awal milenium baru ini, kelahiran kembali komik Indonesia yang dengan caranya sendiri sebagai sebuah renesans. Telah dimulainya proses kelahiran generasi baru dari komik Indonesia yang benar-benar terputus dari masa lalu dan bayang-bayang gaya komik Indonesia masa silam. ‘Renesans’ komik Indonesia ini dikandung di benak masing-masing, tanpa inang pengasuh, kondisi yang rapuh, terlahir lewat mimpi-mimpi dengan tanda-tanda kelahiran yang berserakan dimana-mana.

Diantara tanda-tanda kelahiran awal yang dianggap cukup fenomenal adalah terbitnya edisi penuh warna pertama, yang dicetak dengan gemilang yaitu Caroq, sebuah komik dengan tema heroisme, seruannya yang terkenal, “Kepahlawan sudah mati? Siapa bilang!” Hup! Seketika orang-orang yang diingatkan kembali akan kejayaan komik Indonesia di masa lampau. Kesadaran pentingnya dan sekaligus sulitnya bekerja sama dalam satu naungan studio komik mulai tumbuh, Muncul studio-studio seperti Sraten yang sempat menelorkan Patriot, sebuah komik yang mengenang pahlawan-pahlawan klasik Indonesia seperti Godam, Gundala, Maza, dan Aquanus. DS Studio dengan serial silat Alit Kencana, ada juga Animik World sempat memunculkan Si Jail, studio ini giat bekerjasama dengan berbagai kegiatan dan bidang usaha terkait lainnya. Di samping itu Depdiknas juga sempat melaksanakan beberapa kali lomba komik yang mana komik pemenang di cetak oleh Balai Pustaka. Judul-judulnya itu misalnya Ayam Majapahit oleh Kirikomik, Blandong oleh Ahmad F. Ismail, Kecoa oleh Yudhie dan kawan-kawan, dan yang kesekian kali terakhirnya ialah Tekyan yang berkisah tentang anak-anak jalanan.

Di lain pihak di Yogyakarta, sebuah kota kecil dengan budaya komik yang unik yang kaya akan aneka rupa komik-komik independen, mandiri dan merdeka. Komik independen dalam asumsinya adalah komik yang merdeka dalam gagasan dan atau mandiri dalam produksi-distribusi, demikian pandangan Beng, perupa komik Kelompok Tehjahe. Pandangan lain yang pernah didikusikan oleh M. Arief Budiman saat acara Pasar Komik, dikatakan adanya komik seni dan komik fungsional, yang disebutkan pertama oleh para perupa komiknya diproklamirkan pembongkaran-pembongkaran aturan-aturan yang biasa terdapat dalam komik umumnya, sebuah pendekatan komik sebagai media ekspresi kreatif yang bebas dalam mengungkapkan aspirasi. Kedua, sebagai komik fungsional, ia dianggap sebagai media perantara untuk menyampaikan ide, ekspresi atau pendapat kepada khalayak ramai tentang situasi sosial, politik, ekonomi atau gerakan kebudayaan. Disinyalir oleh sebagian pengamat komik, sejak tahun 1995, suasana komik underground di kota Yogya ini sudah terasa, yang mungkin saja bibit-bibitnya sudah tertanam jauh sebelum tahun yang disebutkannya, hal ini bisa dikarenakan kebanyakan perupa komiknya adalah seniman akademis. Salah satu biobit yang cukup dikenali adalah Core Comic, namanya boleh dibilang cukup dikenal luas, pada masa-masa selanjutnya bahkan hingga saat ini banyak terjadi evolusi yang beragam dari kelompok-kelompok pembuat komik independen lainnya di kota ini. Seperti Apotik Komik yang rajin berkeliling menghias tembok kota dengan komiknya yang menghibur sekaligus menyadarkan, Daging Tumbuh berupa galeri kertas yang berisi komik siapa dan apa saja yang dikelola mandiri oleh Eko Nugroho, Komikaze dan situs online-nya yang banyak menjadi situs rujukan tulisan tentang komik, adalah beberapa gelintir populer yang bisa disebutkan. Tema-tema komik yang diusung pun sedikit berbeda dengan selera komik publik umum, lebih bebas menggarap tema-tema yang jarang ditemukan pada produksi komik mainstream, cerita yang kadang aktual apa adanya, kadang keras, kadang satir yang kasar, dan kadang-kadang mengarah pada nihilisme dan absurditas.

Selain itu, beberapa penerbitan komik sempat bermunculan mengupas kejadian-kejadian sejak era reformasi, seperti Jakarta 2030, komik-komik tokoh reformasi Amien Rais, Gus Dus, dan Megawati, dan Sukab Intel Melayu. Namun komik-komik jenis ini gaungnya kurang terasa menghentak, kondisi dan situasi yang ada berbeda jauh dari yang bisa diharapkan, dimana sekarang ini perhatian orang-orang pada komik-komik dengan tema seperti itu dengan mudah tergusur oleh gegap-gempitanya beragam komik terjemahan yang menawarkan bermacam variasi tema yang bisa membawa lari diri dari kecamuk realitas yang sedang terjadi disekelilingnya. Kisah-kisah percintaan, petualangan tokoh jagoan, horor, fantasi, sains fiksi dan imajinasi kenyataannya masih jauh lebih menggoda kesadaran publik komik sekarang ini.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘