Skip to main content

MEMBACA KOMIK WAJAH KITA

Fenomena gerakan komik Indonesia untuk sementara waktu ini sarat diwarnai nuansa instanitas pelakunya, dimana setiap orang berkesempatan bebas mengadu peruntungan membuat komik dan menyebut dirinya seorang komikus tanpa harus melewati proses pembelajaran terlebih dulu. Kalau komikus dunia harus melewati proses magang sebelum berhasil menerbitkan sendiri komiknya, komikus Indonesia sudah bisa eksis bila sudah pernah melahirkan komik sendiri barang satu atau dua buah. Belum saatnya memperbandingkan kualitas komikus dunia dengan komikus lokal, meski demikian melalui riset kecil-kecilan melalui internet terdapat beberapa komikus lokal yang sudah berkesempatan unjuk gigi menjadi ilustrasi komik di penerbitan komik luar negeri.

Latar belakang tiap-tiap komikus kadang melahirkan pandangan-pandangan ekstrim masing-masing dalam memandang rimba perkomikkan Indonesia, dari pandangan yang materialistik yang berorientasikan pasar, hingga yang idealistik mengekspresikan sisi individualisnya. Inilah tanda keberagaman yang unik dalam tubuh ‘bayi montok’ komik Indonesia. Kegiatan mengomik secara otodidak (self-refenrential) telah membudaya hingga ke kalangan anak-anak pelajar di bangku sekolah menengah. Semangat adalah kata kuncinya, dan bila mempunyai uang saku yang cukup tebal bolehlah mengambil kursus ngomik yang mulai menjamur.

Belum adanya aturan-aturan main yang baku yang dikhususkan bagi penerbitan komik lokal, dimana ada sebagian penerbitan memperlakukannya sama seperti penerbitan buku-buku lainnya, ada pula yang mencoba membangun kerjasamanya. Pola kerja yang beragam yang masing-masingnya sedang dalam proses pencarian bentuk-bentuk kerjasama yang lebih sesuai dengan keadaan, memberi warna pada penggarapan komik-komik lokal. Ada yang bekerja dibawah naungan sebuah penerbitan dengan membawa misi tertentu, ada yang menjalin hubungan dengan organisasi nirlaba, ada yang mengerjakan sendiri, ada yang kelompok, untuk kemudian mengajukannya pada penerbit. Selain itu ada pula yang berada di luar sistem penerbitan umum, dengan membangun jaringan dan pada akhirnya mulai melahirkan komunitasnya tersendiri, lewat cetak maupun internet.

Sebelum terbitnya majalah komik lisensi Wizard yang dianggap baru ini, sepanjang tahun 1998 hingga 2004, pernah bermunculan banyak penerbitan majalah komik lokal, baik melalui jalur produksi mandiri maupun melalui penerbitan resmi. Sebutlah majalah-majalah yang pernah terbit sekejap seperti Koin, Komikland, Wayang Gaul, Tabloid Komikka, Tabloid Komik: SAP Project, MAKO, Union, dan mungkin akan terus muncul silih berganti memenuhi kegiatan pameran dan bazaar komik yang cukup marak belakang hari ini. Beberapa penerbitan kecil, mulai berminat dan merasa tertantang menyediakan kesempatan pada komikus lokal untuk menerbitkan karya-karya mereka. Dapat disebutkan sebagian penerbit itu seperti Dahara Comic, Komunitas Nisita, Riko Amer Production, Gagas Media, Creativ Media, Terrant dan Asy Syaamil.

Stagnansi rimba perkomikkan dicairkan melalui terbentuknya komunitas-komunitas komik baru yang diam-diam terus lahir, yang pertama-tama cukup dikenal adalah Kajian Komik Indonesia (KKI) yang dibidani sejak tahun 1993. Ibu Rahayu S. Hidayat, sebagai ketua komunitas ini, melalui percakapan santai lewat saluran telepon lokal yang jernih, mengatakan sangat bergembira melihat perkembangan dunia komik nasional akhir-akhir ini apalagi bila membandingkannya dengan kondisi perkomikkan lokal sepuluh tahun yang lalu saat ide komunitas ini dicetuskan. Ceritanya di awal-awal kegiatan KKI hanyalah mencoba membawakan seminar tentang komik satu-dua kali, kemudian mulai adanya rutinitas pameran-pameran komik lokal, dan akhirnya Depdiknas dan Balai Pustaka saat itu turut ambil bagian dengan diadakannya lomba komik serta Pameran Komik dan Animasi I di tahun 1998. Selanjutnya pertumbuhan menggembirakan dengan banyaknya penyelenggaran acara dan kegiatan sejenis di berbagai kota, dan pada akhirnya para penerbit besar pun turut ambil bagian memberi kesempatan terbit bagi karya komikus tanah air.

Salah satu komunitas yang menyusul muncul dan cukup dikenal luas hingga saat ini adalah Masyarakat Komik Indonesia (MKI) yang lahir dipenghujung acara Pekan Komik nasional pertama di tahun 1997. Slogan mereka yang lantang adalah ‘Support Your Local Comic Movement’, ciptaan Ardie dari studio komik Karpet Biru. Laksana gayung bersambut bermuncullanlah komunikas-komunitas komik yang berbasiskan kampus-kampus, mailing list groups dan forum-forum diskusi online. Beberapa mailing list groups komik yang cukup ramai contohnya MKI dan Icomics, terdapat juga forum diskusi yang menyediakan bagian khusus perbincangan komik, seperti forum.indicomic.com, forum.kafegaul.com, dan forum.freakschool.com yang didalamnya publik komik aktif saling bertukar pikiran dari sekedar ngalor-ngidul antar komikus dan pembaca, hingga perdebatan serius mengenai komik di Indonesia. Tempat-tempat diskusi online ini lebih bertahan lama dibandingkan dengan situs-situs yang khusus mengenai komik, seperti planetmerah.com, kitakita.con, barong-komik,com dan mikon.diffy.com, yang sementara ini telah berhenti aktifitasnya. Belakang hari ini muncul komikindonesia.com dan indicomic.com yang oleh pengelolanya ditangani lebih profesional, berhasil menghimpun cukup banyak komikus berpameran komik secara online, disamping upaya menerbitkannya juga secara offline.

Dari kegiatan online ini, terpetiklah berita bahwa telah ada pula artis komik Indonesia yang bekerjasama dengan pihak luar negeri dalam menerbitkan komik, diantaranya adalah Rizki sebagai ilustrator komik berjudul Garland of Moonlight, penerbit Shoto Press, dan Erufan sebagai ilustrator dua edisi komik Archeon terbitan Digital Webbing (USA). Disamping itu dikabarkan pula kerjasama seorang komikus wanita dengan samaran Anzu Hizawa dengan penerbit dari Singapura.

Kemudian melalui bantuan korespondensi dua komikus wanita di Jakarta dan Bandung, Esvandiari dan Dyotami, yang keduanya rajin mengikuti mailing list dan forum diskusi komik online, didapatlah beberapa pandangan sejauh mana keseriusan dari teman-teman seprofesi mereka dalam memapaki rimba perkomikkan di tanah air.

Sebagian besar komikus muda usia ini adalah wanita, hal ini berarti mendobrak dominasi pria yang biasanya terlihat lebih aktif menekuni komik. Pengakuan sebagian besar komikus yang ada, mengindikasikan bahwa keseriusan menekuni komik mulai muncul sejak tahun 1998. Mereka sudah berpikir mengenai pentingnya konsep, naskah dan gambar dari komik yang dikerjakan. Banyak poin-poin penting seperti kualitas cerita, storytelling, ilustrasi, desain karakter, setting, pewarnaan, lay out, serta maksud dan tujuan dari komik yang sedang diusahakan untuk diterapkan di dalam komik-komik mereka, walaupun menurut mereka akui sendiri masih belum sepenuhnya bisa dikerjakan dengan baik. Proses belajar sembari mempraktekkan inilah yang sedang terjadi, dan ada terbesit harapan bahwa dunia usaha mau berupaya mengembangkan industri komik lokal sebagai bisnis masa depan.

Diakui Harlia, bahwa kendala membuat komik banyak datang dari diri sendiri. Ada juga Mutaroh, salah seorang komikus komik Stay In, yang mengaku mendapatkan banyak tantangan dan hambatan baik dari luar maupun dalam. Banyak pengerjaan komik lokal masih mengandalkan manual, ketersediaan raster seperti yang terdapat dalam komik Jepang masih minim dan mahal, sedangkan kemampuan untuk memanfaatkan komputer dirasakan belum cukup maksimal. Gambaran bahwa banyak komikus lokal yang menyambi pengerjaan komiknya di luar rutinitas kerja sehari-hari tampak dari cerita orang-orang seperti Ardi Sama yang sehari-hari menjadi IT Consultant di sebuah perusahaan, atau Ahmad Zeni yang karyawan tetap sebuah divisi penerbitan majalah anak-anak. Ardi membayangkan pengembangan komik yang dapat sejalan dengan pengembangan animasi, serta dunia entertainment Indonesia yang nantinya saling berkolaborasi. Dyotami sendiri mempertanyakan masalah konsistensi dalam berkarya disamping menilai positif semangat-semangat baru yang muncul. Dukungan dari orang-orang disekitar merupakan obat semangat yang berarti bagi T. Wolv, komikus Riddle of Gravity. Sebagian rekan-rekan komikus muda lainnya memberikan tanggapan dan pandangan yang kurang lebih sama seperti teman-teman di atas.

Perkembangan lain yang cukup membantu apresiasi terhadap komik adalah diterbitkannya buku Komik Indonesia yang merupakan tesis sosiologi Marcel Boneff dalam bahasa Perancis (1976) dan menyusul menerbitkan juga terjemahan buku Understanding Comic: The Invisible Art, Scott McCLoud, 2001. Selain itu juga maraknya penerbitan buku-buku panduan membuat komik.

Yang perlu menjadi perhatian disini adalah sebuah komik bisa eksis bila ada perupa atau artis komik yang tertekad untuk mengerjakannya dan sebuah komik tentu butuh penggemar yang apresiatif agar eksistensinya bergulir. Selain itu penting pula bagi insan perkomikkan nasional untuk saling membangun dan mempersiapkan landasan pijak bagi penjelajah baru yang ingin masuk dan meramaikan rimba belantara perkomikkan Indonesia yang masih lapang dan asri ini.

Sebagian besar orang mensinyalir bahwa generasi komikus senior sudah banyak yang pensiun dari dunia komik, sekian tahun dinantikan, hampir tidak pernah ada lagi muncul karya-karya terbaru dari mereka. Tetapi ternyata tidak sepenuhnya benar, sebagian komikus senior masih aktif sebagai ilustrator macam-macam, dan ternyata Hans Jaladara sedang giat kembali membuat komik Walet Merah, lanjutan dari komiknya Panji Tengkoraknya yang terdahulu. Meski didera oleh berbagai kritikan berkaitan dengan gambar komik khas Hans yang berubah mengikuti arus pasar komik, kita layaknya memberi salut atas semangat dan profesionalitas yang ditunjukkan oleh komikus gaek yang satu ini, yang mampu secara konsisten menelurkan komiknya bukan hanya satu atau dua jilid tapi sudah tujuh jilid buku komik. Semoga saja komikus ini bisa terus berkarya dengan baik, sehingga nantinya akan kita saksikan pertemuan dua generasi komikus, dan semoga publik pembaca komik di Indonesia bisa lebih peka dan apresiaif terhadap karya komik bangsa sendiri.

Selama lima tahun terakhir ini, berbagai upaya intens yang mulai dilakukan oleh penerbit-penerbit komik kecil maupun besar, tampaknya belum mampu membuat mekanisme pasar ‘bergeming’. Pasar sekarang masih dibanjiri oleh produk asing, meski hal itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau ditolak mentah-mentah, dan juga bukan berarti sesuatu yang taken for granted, harus ditelan bulat-bulat. Sebaliknya merupakan sebuah tantangan yang harus diubah menjadi peluang secara bersama-sama oleh berbagai pihak yang terkait. Janganlah sampai membiarkan komikus harus mencari suaka karya ke negara lain agar bisa diterbitkan komiknya.

Di saat sekarang ini, terlepas dari masalah pengaruh mempengaruhi, bila membaca ‘wajah’ komik Indonesia yang ada, akan mudah ditemui berbagai cerapan langgam yang dianggap memenuhi standar kualitatif komik yang dinilai bagus. Pada sebagian penerbitan, didapat sebagian besar komik Indonesia yang mengacu pada standar genre manga (Jepang), pada komik Indonesia berwarna terdapat postur berlanggam Amerika, dan eksplorasi beragam langgam dari yang kartun hingga semi realis. Belakang hari ini tidak sedikit penerbitan yang mencoba masuk ke kancah rimba perkomikkan Indonesia dengan mengusung nilai standar komiknya masing-masing. Penerbitan ulang yang diberi sentuhan di sana-sini dari karya-karya komik klasik Indonesia pun turut menyemarakkan ‘wajah’ komik ini. Pergerakan komik-komik alternatif yang membawa pandangan baiknya tersendiri pun semakin menambahkan rupa dan warna ‘wajah’ komik Indonesia.

Harapan dari beragamnya sumber-sumber inspirasi dan standar kebagusan komik-komik yang ada ini adalah munculnya keunikan-keunikan bertutur cerita lewat gambar yang khas pengembangan dari masing-masing individu. Sejauh ini komik lokal masih berjuang mendapatkan bentuk orisinalitas langgam komiknya. Sejauh yang bisa diamati sekarang ini komik Indonesia merupakan mimikri (mengacu pada konsep dari Franz Fanon) dimana komik Indonesia yang ‘terjajah’ oleh kuatnya dominasi komik terjemahan, dipaksa untuk meninggalkan anggapan tentang jati diri komik lokal yang mulai terbentuk di pertengahan abad ke 20, kemudian mulai belajar mengadaptasi identitas mereka dengan identitas komik terjemahan yang mendominasi pasar abad ini. Bentuk lain pencarian identitas komik Indonesia ini adalah sebuah hibriditas (mengacu pada konsep Homi Bhabha), yang dengan berdasar pada premis universalisme bahasa komik, dengan harafiah lalu diartikan mengawinsilangkan genre-genre yang ada dengan tujuan menghasilkan langgam yang unik dan baru. Sementara itu dibalik wacana keberagaman gaya komik yang dikembangkan terdapat ambivalensi yang puncaknya adalah upaya-upaya kamulfase dalam memasarkan produk komik lokal.

Selama ini proses hibridasi komik Indonesia terpatah oleh masa stagnan tahun 80-an hingga 90-an, dimana tidak ada lagi pengikut gaya Ganes Th., tidak ada lagi pengikut gaya Teguh Santosa, terkuburnya akronim Cergam(Cerita ber-Gambar) bagi istilah komik Indonesia. Untuk itu kekhasan masing-masing individu dalam menggali, menemukan, mengekpresikan bahasa komik secara verbal maupun visual niscaya akan menumbuhkan citra dan cita rasa lokal yang khas, dan bisa menjadikan komik Indonesia dicintai publik negerinya sendiri. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘