Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘God of Manga’.
Tak banyak orang ambil peduli tentang bagaimana istilah ‘manga’ bisa cukup luas untuk menyebutkan segala format dan genre komik Jepang. Tak banyak pula pembaca yang sebagian masa mudanya dipengaruhi bacaan manga, mengenal nama Rakuten Kitazawa, pendiri Manga Kourakukai atau Asosiasi Profesional Manga di tahun 1918. Dia termasuk orang yang membuat nama ‘manga’ menjadi pakem sebutan bagi kartun dan komik di Jepang lewat penerbitan Jiji Manga, dimana ia bekerja. Penyebutan istilah ‘manga’ sendiri akan membawa kita mundur ke abad 17-18 silam, dimana seorang artis master Ukiyo-e berpengaruh di Jepang tahun 1815, bernama Katsushika Hokusai merujuknya sebagai sebuah bentuk seni dari gambar-gambarnya. Manga atau Man Hua dalam kanji diartikan sebagai gambar asal, karikatur atau gambar lelucon. Pada masa-masa sebelumnya, gambar-gambar biasanya terkait dengan tujuan spiritual, religi, moral atau kesenian, sedangkan pada saat Hokusai membuat gambar-gambar sketsa yang kemudian dianggap ‘aneh’ dan sesuka hati dalam menangkap gerak-gerik manusia atau apa saja di dekatnya, ia memberi judul ‘Manga Hokusai’ pada kumpulan gambarnya itu . Secara harafiah, arti dari manga sama saja dengan gambar kartun, begitulah kelak bentuk generasi awal manga. Namun sekali lagi akibat kehadiran tokoh bernama Tezuka di pertengahan abad ke 20, yang kemudian memicu perubahan dan perluasan makna dari kata yang sederhana itu.
Pengaruh dari kerja keras Tezuka kalau boleh disetarakan dengan peran yang dilakoni oleh tokoh-tokoh seperti Walt Disney, Herge, Will Eisner dan Jack Kirby, yang kalaupun disatukan bahkan masih terasa belum mencukupi. Apakah hal itu tidak terlihat berlebihan? Mungkin iya, tapi bila kita harus menunjukkan satu persatu peran yang ia mainkan sendirian dalam merubah ‘wajah’ manga, dan juga bagaimana ia mengawali kesuksesan animasi Jepang di pentas dunia, maka apresiasi itu rasanya cukup wajar.
Selama lebih dari 40 tahun, Tezuka berjuang mengangkat ‘manga’ dari hanya sekedar bacaan anak-anak ke level yang lebih berarti dan sesuai sebagai bacaan yang berkembang untuk segala usia. Tercatat tak kurang dari 600 judul dengan 150.000 total halaman telah ia hasilkan sepanjang karir hidupnya. Selama itu pula ia mengedepankan berbagai upaya-upaya mencari dan mentransformasikan manga ke dalam beragam genre dan subjek cerita, dengan memperhatikan nuansa karakterisasi, tata letak yang kinetis, dan berani memasukkan unsur-unsur pemikiran yang konfrontatif semacam hal mengenai kebutuhan dasar manusia dalam mempertanyakan arti dari jati diri, kehilangan, kematian dan ketidak-adilan sosial. Bahkan juga tema-tema seksualitas dan kloning sudah ia sisipkan.
Tezuka kecil berada di lingkungan keluarga yang cukup terbuka dalam menerima modernisasi budaya barat. Selama masa mudanya, ia mengaku hampir setiap hari kerjanya banyak menonton film. Diantaranya yang sering berulang kali ditonton dan dibaca olehnya adalah film dan buku-buku keluaran dari Walt Disney, Fleicher Brothers atau komedian Charlie Chaplin. Pengaruh film-film Jerman, Perancis, Inggris dan Amerika semasa perang dan sesudahnya juga termasuk bagian dari kehidupan yang kelak membentuk jiwa seorang Tezuka.
Masa-masa sesudah Jepang kalah perang di PD II, adalah masa-masa yang tersulit, walaupun begitu Tezuka berhasil menggolkan proposal manga-nya yang berjudul Shin Takarajima, atau New Treasure Island, dan berhasil terbit di tahun 1947, meski di potong sana sini hingga menjadi 60 halaman saja, tak sampai seperempat dari rancangan aslinya. Dan dengan itu, di sinilah kisah eksperimen awal dari manga modern dimulai. Jepang yang kala itu masih terisolir akibat kalah perang, kurang mengetahui tentang teknik sinematografis yang sedang berkembang di dunia, Tezuka-lah salah satunya yang membawa masuk ke Jepang teknik sinematografis ini lewat komik-komik rancangannya. Sedikit demi sedikit Tezuka memberikan kejutan dalam karya-karyanya, seperti teknik zooming, panning, garis gerakan yang ekspresif, distorsi, penggarapan detil-detil seperti tetesan keringat, bunyi efek dan kaya akan penggunaan simbol-simbol untuk menguatkan perasaan pembaca.
Saat ini salah satu implikasi yang disebabkan oleh manga dan anime pada budaya global adalah budaya ‘kawai’ atau ‘cute culture’, sesuatu yang juga telah diusung oleh Tezuka. Hal itu terlihat ketika bergulat dengan pengadaptasian tema-tema serius seperti Faust-nya Goethe, Crime and Punishment-nya Dostoevsky, dan juga membuat manga renungan hidup seperti Buddha, Tezuka tetap mempertahankan unsur ‘cute’ dalam pengkarakterannya, suatu bentuk perasaan yang siapa saja pernah alami sebagai kanak-kanak, namun tak ia lepaskan begitu saja.
Dalam membuat manga, Tezuka kerapkali bertindak seolah-olah seorang sutradara yang sedang mengarahkan karakter-karakter dalam manganya, karena kebetulan dunia film adalah obsesi lain keinginannya. Dengan dukungan finansial dari kesuksesan manga-manganya, maka lahirlah produksi animasi ‘Tetsuwan Atom’ atau ‘Astro Boy’. Kesuksesan secara nasional dan internasionalnya membentuk sebuah citra relasi simbiosis antara manga dan anime(animasi jepang).
Antipatinya pada sikap militerisme selama masa perang yang dilakukan Jepang, ia wakilkan lewat medium manga tempat dimana ia mempertanyakan dan memperingatkan kembali bahaya akibat fanatisme, sikap tak acuh dan menganggap remeh perikehidupan, dan dampak-dampak teknologi maju yang kurang diteliti akibatnya. Sesungguhnya hal yang ia coba sampaikan hanyalah sebuah pesan sederhana berupa ajakan: “Cintailah semua mahkluk ciptaan yang ada! Mari mecintai semua benda yang bernyawa!” Perasaan sedih atas tindak diluar perkemanusiaan yang terjadi, dan juga krisis identitas bangsa Jepang akibat kalah perang, menggiringnya membuat parabel mengenai sosok robot anak kecil, seekor singa putih, seorang putri menyamar menjadi pria, dan burung keabadian sebagai gema tanpa batas waktu dirinya. Karya-karyanya ini juga memberikan bukti pada keyakinannya bahwa komik adalah bahasa dunia yang bisa melintas batas dan generasi. Komik adalah jembatan antar berbagai budaya. Hal yang senada dengan ini, ungkapan tentang komik adalah perekat budaya kosmopolit, juga pernah disinyalir oleh Goethe, sastrawan dan filsuf dari Jerman.
Manga bukanlah komik yang dibayangkan seperti komik Amerika atau kartun Eropa. Bangsa Jepang terbukti mampu menyerap konsep budaya asing, kemudian mengadaptasi dan membuat improvisasi sendiri, sehingga menghasilkan inovasi dan menyebar-luas ke pentas dunia. Semasa restorasi Meiji, Jepang banyak belajar dari Barat terutama sistem kapitalisme Amerika. Manga yang ada sekarang ini telah merubah dasar-dasar dari komik Barat, seperti bagaimana hubungan antar gambar, bingkai (frame), kata-kata, dan mem-fusi-kannya dengan selera atau kecintaan tradisi terhadap seni populer milik mereka sendiri.
Selain kandungan dan harapan positif dari manga, terdapat pula penilaian kritis terhadap mereka, seperti yang pernah terungkapkan oleh seorang sastrawan Jepang yang menolak hadiah Nobel, bernama Yukio Mishima menyatakan bahwa,” ….gegika itu sepuluh kali lebih ganas, kuat, berkuasa dan brutal.” Mengingat karakter novel-novel Mishima yang ‘keras’ seperti Kuil Kencana, salah satu karyanya yang di terjemahkan oleh Ajip Rosidi, yang juga mengandung hal-hal menyeramkan seperti yang ia sebutkan itu, maka ancaman dari manga tampaknya sangat serius. Dan pada kenyataannya semenjak kehadiran manga, video games, komputer, saluran televisi, jenis bacaan-bacaan sastrawi yang sejak tahun 20-an sangat laris menjadi kehilangan profitnya. Hampir lebih dari seperempat produksi buku di Jepang adalah manga dan hal yang terkait dengannya.
Menginjak usia 40, Tezuka turut prihatin dengan perkembangan komersialisasi manga, yang mana ia pertanyakan sendiri,”Katanya manga sedang berada dalam jaman keemasannya. Akan tetapi, seberapa banyakah karya-karya berkualitas mumpuni yang sebenarnya beredar? Bukankah kenyataannya banyak mangaka bekerja nyaris mati ketika didesak memasukkan karya, diperhambakan dan bekerjasama dengan persyaratan keji komersialisme?” Untuk menjawab itu, dan agar ia bisa membuat karya yang sangat ia idam-idamkan, dimana dia bisa bebas mengekspresikan perhatian moralnya, Tezuka tidak punya pilihan selain menerbitkan sendiri sebuah majalah manga bernama COM (1967-72). Disini diperlihatkan pula keterbukaan Tezuka terhadap pengaruh gekiga dan ia tunjukkan sejauh mana ‘real story manga’ yang bisa ia capai.
Kesuksesan dan keunikan manga tidak muncul dengan sendirinya, pada masa-masa pembelajaran Jepang ke Barat (Eropa dan Amerika), banyak inspirasi estetik komik yang diadaptasi atau diadopsi ke dalam manga. Pada awalnya pun manga diproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hingga saat ini pun jumlah konsumsi manga di dalam negeri pun masih lebih tinggi daripada yang beredar di luar. Generasi muda di Jepang sendiri saat ini tidak hanya menggemari manga, karena ada video games dan berbagai hiburan lainnya, masing-masing punya komunitasnya sendiri-sendiri, bahkan juga komunitas sastranya. Apa yang dicita-citakan oleh Osamu Tezuka agar komik tidak hanya dibaca oleh anak-anak mungkin sudah tercapai, tetapi kandungan dan pesan kemanusiaan yang membuat ia dihormati bagai ‘kamisama’ atau dewa komik Jepang, tampaknya merupakan perjuangan yang tak kunjung usai.
Maka, dapatkah kita ‘menaruh hati’ pada manga, tanpa peduli dengan pesan dan harapan serta perjuangan yang diimbuhkan oleh sang ‘God of Manga’ pada setiap karya-karyanya?
Tak banyak orang ambil peduli tentang bagaimana istilah ‘manga’ bisa cukup luas untuk menyebutkan segala format dan genre komik Jepang. Tak banyak pula pembaca yang sebagian masa mudanya dipengaruhi bacaan manga, mengenal nama Rakuten Kitazawa, pendiri Manga Kourakukai atau Asosiasi Profesional Manga di tahun 1918. Dia termasuk orang yang membuat nama ‘manga’ menjadi pakem sebutan bagi kartun dan komik di Jepang lewat penerbitan Jiji Manga, dimana ia bekerja. Penyebutan istilah ‘manga’ sendiri akan membawa kita mundur ke abad 17-18 silam, dimana seorang artis master Ukiyo-e berpengaruh di Jepang tahun 1815, bernama Katsushika Hokusai merujuknya sebagai sebuah bentuk seni dari gambar-gambarnya. Manga atau Man Hua dalam kanji diartikan sebagai gambar asal, karikatur atau gambar lelucon. Pada masa-masa sebelumnya, gambar-gambar biasanya terkait dengan tujuan spiritual, religi, moral atau kesenian, sedangkan pada saat Hokusai membuat gambar-gambar sketsa yang kemudian dianggap ‘aneh’ dan sesuka hati dalam menangkap gerak-gerik manusia atau apa saja di dekatnya, ia memberi judul ‘Manga Hokusai’ pada kumpulan gambarnya itu . Secara harafiah, arti dari manga sama saja dengan gambar kartun, begitulah kelak bentuk generasi awal manga. Namun sekali lagi akibat kehadiran tokoh bernama Tezuka di pertengahan abad ke 20, yang kemudian memicu perubahan dan perluasan makna dari kata yang sederhana itu.
Pengaruh dari kerja keras Tezuka kalau boleh disetarakan dengan peran yang dilakoni oleh tokoh-tokoh seperti Walt Disney, Herge, Will Eisner dan Jack Kirby, yang kalaupun disatukan bahkan masih terasa belum mencukupi. Apakah hal itu tidak terlihat berlebihan? Mungkin iya, tapi bila kita harus menunjukkan satu persatu peran yang ia mainkan sendirian dalam merubah ‘wajah’ manga, dan juga bagaimana ia mengawali kesuksesan animasi Jepang di pentas dunia, maka apresiasi itu rasanya cukup wajar.
Selama lebih dari 40 tahun, Tezuka berjuang mengangkat ‘manga’ dari hanya sekedar bacaan anak-anak ke level yang lebih berarti dan sesuai sebagai bacaan yang berkembang untuk segala usia. Tercatat tak kurang dari 600 judul dengan 150.000 total halaman telah ia hasilkan sepanjang karir hidupnya. Selama itu pula ia mengedepankan berbagai upaya-upaya mencari dan mentransformasikan manga ke dalam beragam genre dan subjek cerita, dengan memperhatikan nuansa karakterisasi, tata letak yang kinetis, dan berani memasukkan unsur-unsur pemikiran yang konfrontatif semacam hal mengenai kebutuhan dasar manusia dalam mempertanyakan arti dari jati diri, kehilangan, kematian dan ketidak-adilan sosial. Bahkan juga tema-tema seksualitas dan kloning sudah ia sisipkan.
Tezuka kecil berada di lingkungan keluarga yang cukup terbuka dalam menerima modernisasi budaya barat. Selama masa mudanya, ia mengaku hampir setiap hari kerjanya banyak menonton film. Diantaranya yang sering berulang kali ditonton dan dibaca olehnya adalah film dan buku-buku keluaran dari Walt Disney, Fleicher Brothers atau komedian Charlie Chaplin. Pengaruh film-film Jerman, Perancis, Inggris dan Amerika semasa perang dan sesudahnya juga termasuk bagian dari kehidupan yang kelak membentuk jiwa seorang Tezuka.
Masa-masa sesudah Jepang kalah perang di PD II, adalah masa-masa yang tersulit, walaupun begitu Tezuka berhasil menggolkan proposal manga-nya yang berjudul Shin Takarajima, atau New Treasure Island, dan berhasil terbit di tahun 1947, meski di potong sana sini hingga menjadi 60 halaman saja, tak sampai seperempat dari rancangan aslinya. Dan dengan itu, di sinilah kisah eksperimen awal dari manga modern dimulai. Jepang yang kala itu masih terisolir akibat kalah perang, kurang mengetahui tentang teknik sinematografis yang sedang berkembang di dunia, Tezuka-lah salah satunya yang membawa masuk ke Jepang teknik sinematografis ini lewat komik-komik rancangannya. Sedikit demi sedikit Tezuka memberikan kejutan dalam karya-karyanya, seperti teknik zooming, panning, garis gerakan yang ekspresif, distorsi, penggarapan detil-detil seperti tetesan keringat, bunyi efek dan kaya akan penggunaan simbol-simbol untuk menguatkan perasaan pembaca.
Saat ini salah satu implikasi yang disebabkan oleh manga dan anime pada budaya global adalah budaya ‘kawai’ atau ‘cute culture’, sesuatu yang juga telah diusung oleh Tezuka. Hal itu terlihat ketika bergulat dengan pengadaptasian tema-tema serius seperti Faust-nya Goethe, Crime and Punishment-nya Dostoevsky, dan juga membuat manga renungan hidup seperti Buddha, Tezuka tetap mempertahankan unsur ‘cute’ dalam pengkarakterannya, suatu bentuk perasaan yang siapa saja pernah alami sebagai kanak-kanak, namun tak ia lepaskan begitu saja.
Dalam membuat manga, Tezuka kerapkali bertindak seolah-olah seorang sutradara yang sedang mengarahkan karakter-karakter dalam manganya, karena kebetulan dunia film adalah obsesi lain keinginannya. Dengan dukungan finansial dari kesuksesan manga-manganya, maka lahirlah produksi animasi ‘Tetsuwan Atom’ atau ‘Astro Boy’. Kesuksesan secara nasional dan internasionalnya membentuk sebuah citra relasi simbiosis antara manga dan anime(animasi jepang).
Antipatinya pada sikap militerisme selama masa perang yang dilakukan Jepang, ia wakilkan lewat medium manga tempat dimana ia mempertanyakan dan memperingatkan kembali bahaya akibat fanatisme, sikap tak acuh dan menganggap remeh perikehidupan, dan dampak-dampak teknologi maju yang kurang diteliti akibatnya. Sesungguhnya hal yang ia coba sampaikan hanyalah sebuah pesan sederhana berupa ajakan: “Cintailah semua mahkluk ciptaan yang ada! Mari mecintai semua benda yang bernyawa!” Perasaan sedih atas tindak diluar perkemanusiaan yang terjadi, dan juga krisis identitas bangsa Jepang akibat kalah perang, menggiringnya membuat parabel mengenai sosok robot anak kecil, seekor singa putih, seorang putri menyamar menjadi pria, dan burung keabadian sebagai gema tanpa batas waktu dirinya. Karya-karyanya ini juga memberikan bukti pada keyakinannya bahwa komik adalah bahasa dunia yang bisa melintas batas dan generasi. Komik adalah jembatan antar berbagai budaya. Hal yang senada dengan ini, ungkapan tentang komik adalah perekat budaya kosmopolit, juga pernah disinyalir oleh Goethe, sastrawan dan filsuf dari Jerman.
Manga bukanlah komik yang dibayangkan seperti komik Amerika atau kartun Eropa. Bangsa Jepang terbukti mampu menyerap konsep budaya asing, kemudian mengadaptasi dan membuat improvisasi sendiri, sehingga menghasilkan inovasi dan menyebar-luas ke pentas dunia. Semasa restorasi Meiji, Jepang banyak belajar dari Barat terutama sistem kapitalisme Amerika. Manga yang ada sekarang ini telah merubah dasar-dasar dari komik Barat, seperti bagaimana hubungan antar gambar, bingkai (frame), kata-kata, dan mem-fusi-kannya dengan selera atau kecintaan tradisi terhadap seni populer milik mereka sendiri.
Selain kandungan dan harapan positif dari manga, terdapat pula penilaian kritis terhadap mereka, seperti yang pernah terungkapkan oleh seorang sastrawan Jepang yang menolak hadiah Nobel, bernama Yukio Mishima menyatakan bahwa,” ….gegika itu sepuluh kali lebih ganas, kuat, berkuasa dan brutal.” Mengingat karakter novel-novel Mishima yang ‘keras’ seperti Kuil Kencana, salah satu karyanya yang di terjemahkan oleh Ajip Rosidi, yang juga mengandung hal-hal menyeramkan seperti yang ia sebutkan itu, maka ancaman dari manga tampaknya sangat serius. Dan pada kenyataannya semenjak kehadiran manga, video games, komputer, saluran televisi, jenis bacaan-bacaan sastrawi yang sejak tahun 20-an sangat laris menjadi kehilangan profitnya. Hampir lebih dari seperempat produksi buku di Jepang adalah manga dan hal yang terkait dengannya.
Menginjak usia 40, Tezuka turut prihatin dengan perkembangan komersialisasi manga, yang mana ia pertanyakan sendiri,”Katanya manga sedang berada dalam jaman keemasannya. Akan tetapi, seberapa banyakah karya-karya berkualitas mumpuni yang sebenarnya beredar? Bukankah kenyataannya banyak mangaka bekerja nyaris mati ketika didesak memasukkan karya, diperhambakan dan bekerjasama dengan persyaratan keji komersialisme?” Untuk menjawab itu, dan agar ia bisa membuat karya yang sangat ia idam-idamkan, dimana dia bisa bebas mengekspresikan perhatian moralnya, Tezuka tidak punya pilihan selain menerbitkan sendiri sebuah majalah manga bernama COM (1967-72). Disini diperlihatkan pula keterbukaan Tezuka terhadap pengaruh gekiga dan ia tunjukkan sejauh mana ‘real story manga’ yang bisa ia capai.
Kesuksesan dan keunikan manga tidak muncul dengan sendirinya, pada masa-masa pembelajaran Jepang ke Barat (Eropa dan Amerika), banyak inspirasi estetik komik yang diadaptasi atau diadopsi ke dalam manga. Pada awalnya pun manga diproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hingga saat ini pun jumlah konsumsi manga di dalam negeri pun masih lebih tinggi daripada yang beredar di luar. Generasi muda di Jepang sendiri saat ini tidak hanya menggemari manga, karena ada video games dan berbagai hiburan lainnya, masing-masing punya komunitasnya sendiri-sendiri, bahkan juga komunitas sastranya. Apa yang dicita-citakan oleh Osamu Tezuka agar komik tidak hanya dibaca oleh anak-anak mungkin sudah tercapai, tetapi kandungan dan pesan kemanusiaan yang membuat ia dihormati bagai ‘kamisama’ atau dewa komik Jepang, tampaknya merupakan perjuangan yang tak kunjung usai.
Maka, dapatkah kita ‘menaruh hati’ pada manga, tanpa peduli dengan pesan dan harapan serta perjuangan yang diimbuhkan oleh sang ‘God of Manga’ pada setiap karya-karyanya?
Comments
banyak artis ilustrasi teater kertras ini yg mempopulerkan gekiga sebagai counter culture dari manga utk anak2. kehidupan keras dan ekonomi yg sulait membuat artis ilustrasi ini melahirkan bentuk gekiga yg artinya gambar dramatis yg konotasinya kepada realisme hidup masyarakat marjinal. gitu kira2 penjelasannya.