Hibrida itu untuk tanaman biologis, dimana mereka akan diam saja ketika dua bibit berbeda dijadikan percobaan untuk menghasilkan varietas baru yang diharapkan menjadi lebih unggul dari kedua asal bibitnya. Pra-anggapan ini pada makhluk hidup yang tidak diberikan kemampuan untuk merespon balas terhadap apa yang terjadi pada dirinya, hendak diterapkan pula pada makhluk yang disebut manusia, yaitu diri kita, makhluk yang punya daya responsif dan kemampuan untuk refleksi diri.
Kenyataan kemajuan teknologi memungkinkan manusia untuk diuji cobakan menjadi hibrida dengan mesin, hingga hibrida dalam segala bidang termasuk teknik menghibridakan pembelajaran yang fisikal menjadi virtual. Dengan pra-anggapan kalau pada padi bisa menghasilkan varietas unggul, kenapa tidak dengan manusia unggul hasil hibrida dengan teknologi?
Teknologi adalah hasil upaya manusia untuk mengatasi kesulitan hidupnya menghadapi tantangan dan hambatan dalam melangsungkan kehidupan di bumi. Teknologi pula yang merupakan pembeda manusia dari berbagai makhluk berotak di muka bumi. Tingkat keberakalan manusia merupakan anugerah yang tidak tertandingi oleh sebarang makhluk di muka bumi, karena itu manusia itu diangkat menjadi khalifah di bumi dan diberikan amanah mewarisi penjagaan kehidupan bumi dan isinya.
Dengan kecerdasan akalnya manusia menciptakan teknologi di segala bidang, menciptakan mesin bahkan mampu menciptakan kecerdasan buatan untuk membantunya. Namun, terjadi petaka apabila akal manusia berpikir bahwa teknologi bisa menggantikan peran manusia di segala bidang. Dari perpanjangan tangan manusia, teknologi kemudian manusia menciptakan pengganti bagi dirinya sendiri.
Di bidang pendidikan, muncul gagasan-gagasan dari dunia perbisnisan demi untuk menghemat tenaga dan memperkaya pemilik modal usaha pendidikan, maka teknologi pendidikan diartikan sebagai teknologi yang dapat menggantikan peran tenaga pendidik. Tenaga manusia ada batasannya, pikiran individu terbatas, tenaganya sebagai manusia juga terbatas. Dengan gagasan memindahkan pikiran individu-individu pendidik, maka pemilik modal usaha menguasai kumulatif pengetahuan dari tenaga pendidik yang ia ongkosi untuk memajukan bisnis pendidikannya.
Dengan teknologi, manusia menciptakan mesin-mesin pengawas berupa mesin presensi kehadiran hingga program penjadwalan otomatis. Sekarang disebabkan pandemik, pembelajaran virtual atau online dianggap solusi untuk segala jenis dan bidang pendidikan. Seakan-akan dengan pembelajaran daring (online), maka segala permasalahan dengan ruang dan waktu terselesaikan.
Tenaga pendidik tidak perlu menghabiskan waktu perjalanan dari rumah ke ruang perkuliahan, cukup memberikan pelajaran kuliah lewat media daring. Demikian mudahnya dilupakan bahwa agar pembelajaran dapat berjalan baik dibutuhkan metode yang berbeda, karena teknologi mengubah cara kerja dan cara bersikap manusia. Demikian mudah pula dilupakan bahwa honor dan renumerasi tenaga pendidik di Indonesia itu termasuk rendah dan kurang diapresiasi tenaganya sebelas dua belas dihitung dengan rate buruh pabrik. Yang diberi harga hanya hitungan tenaga dan waktu yang dihabiskan. Pikiran dan perlengkapan teknologi serta material bahan bacaan, segala bentuk persiapan tidak masuk hitungan, karena dianggap sudah termasuk tanggungan pribadi masing-masing. Sekali lagi hanya tenaga dan waktu yang dianggap punya harga.
Para pemilik modal pengusaha bisnis pendidikan bahkan tidak berpikir tentang peralatan teknologi yang harus dipersiapkan terlebih dulu dengan matang. Lebih jauh lagi, sudah berpikir sudah waktunya tenaga pendidik dikurangi jam kerja-nya, karena para peserta didik dapat mengakses sendiri rekaman materi presentasi dari tenaga pendidik tanpa harus ada kehadiran fisikal. Persoalannya adalah mentalitas peserta didik yang juga belum siap untuk belajar segala sesuatu secara mandiri. Maka dari itu dibuatlah kelas-kelas hibrida yang campur baur sinkronus - asinkronus, atau apapun istilah baru yang diciptakan untuk medium pembelajaran daring campur luring.
Yang luput dari perhatian adalah bahwa setiap teknologi akan membawa perbedaan metode kerja dan perilaku dalam mengantisipasi perubahan zaman yang disebabkan teknologi tersebut. Bahwa tiap-tiap teknologi berbeda cara atau mode bekerjanya. Jadi, tidak bisa mengasumsikan pembelajaran luring di kelas disubstitusikan dengan pembelajaran daring di rumah atau tempat selain 'ruang kelas' formal.
Semua modal teknologi yang biasa disediakan universitas di dalam ruang-ruang kelas kampus, kini harus disiapkan dimodali sendiri oleh para tenaga pendidik yang sementara ini cuma diberikan renumerasi seharga tenaga dan waktu yang terpakai dari jam pelajaran. Biaya infrastruktur seperti perangkat komputer atau laptop atau kuota internet dianggap sudah tersedia atau disediakan begitu saja oleh pribadi tenaga pendidik masing-masing.
Sementara itu para pembuat kebijakan di perusahaan-perusahaan bisnis pendidikan tinggi misalnya, hanya memandang dari segi efisiensi dan efektifitas bagi profit perusahaan, meskipun bisnis sekolah institusi pendidikannya dilaporkan atau dijadikan visi misi tanggung-jawab sosial korporasi (corporate social responsibility). Akibatnya, cara pandang ini hanya melihat satu sisi dari keuntungan perusahaan, bukan dari sudut pandang para pendidika, yang bagi mereka tak lebih dan tak kurang dari para buruh pekerja yang butuh makan dan gaya hidup, bukan pula dari kebutuhan untuk mengutamakan kepentingan pelayanan pendidikan bagi para peserta didik, melainkan perbandingan pemasukan dan pengeluaran yang setara.
Seterusnya, pengelolaan efisiensi dengan teknologi lebih diutamakan ketimbang kebutuhan memanusiawikan tenaga pendidik dan kualitas intelektual peserta didik. Karena itu, pada bagian-bagian aktivita mana yang bisa dihemat dengan jargon efisiensi maka efektifitas dipaksakan ke dalamnya. Kuliah praktik studio disubstitusikan dengan kelas virtual yang meniadakan sama sekali praktik dimana tangan manusia harus bekerja memegang peralatan dan membentuk atau menyentuh objek fisik. Padahal, hal-hal yang terkait tubuh dan instrumen kerja tidak bisa dipertukarkan pengalaman otentiknya dengan virtualitas belajar mode daring.
Disamping hal-hal kasat mata seperti pengalaman empiris yang menubuh, masih banyak cara, metode dan mode pengalaman yang tidak serta merta tergantikan oleh cara belajar daring. Pengalaman fisik dan mental berada di ruang fisik yang tidak tergantikan interaktivitasnya dengan cara interaktif di dunia daring virtual. Masing-masing punya cara atau mode menjalankannya secara berbeda, terlebih lagi kita masih harus mencari-cari model hingga modul dan metode yang sesuai dan 'efektif'.