Skip to main content

Latar Mengapa Pendidik Memanfaatkan Peserta Didik

 Ada beragam keluhan terhadap buruknya pendidikan di Indonesia, bukan lagi karena bangunan fisik yang suram dan tak terawat, melainkan datang dari pengelolaan pembelajaran dan kualitas perilaku pengajarnya. Perilaku pimpinan yang menganggap penyediaan dan penyiapan bahan dan materi ajar hanyalah bagian yang menjadi hak kewajiban dari pengajar, tanpa memedulikan bagaimana penyusunan suatu kurikulum memerlukan sarana / prasarana mulai dari ketersediaan dan kelengkapan buku-buku dan jurnal-jurnal terbaik dan termutakhir hingga waktu untuk membaca, berpikir, menafsirkan, memahami dan merumuskan kembali ke dalam bahan ajar dan silabus - yang juga perlu memerhatikan dalam praktiknya kondisi kemampuan peserta didik yang beragam.

Betapa abal-abalnya bila seorang pimpinan institusi pendidikan tega memberikan saran agar pengajar menganibal saja materi-materi pembelajaran yang dapat dilayari di jaringan internet dari kampus institusi lain. Atau betapa teganya pimpinan institusi bila menganggap penyusunan kurikulum sebagai sesuatu yang si pengajar tinggal muntahkan dari isi kepalanya, tanpa perlu membuat studi dan tinjauan terlebih dulu. Sementara itu, sarana /prasarana untuk materi bacaan mengandalkan ketidak-lengkapan koleksi buku perpustakaan dan dengan alasan sudah ada pelayanan dari perpustakaan daring milik negara melalui langganan di jaringan bidang pendidikan tinggi nasional. Dan institusi terlalu berhemat hingga tidak lagi memedulikan kualitas sistem pelayanan perpustakaan yang semakin hari semakin tertinggal.

Namun, di sebalik gedung-gedung sarana pembelajaran yang mahal dan mewah, ibarat pepesan kosong, hanya ada ruang-ruang kelas dengan meja dan kursi standar untuk semua jenis perkuliahan. Tidak diperhatikan secara spesifik kebutuhan yang berbeda atau perkembangan inovasi dan tuntutan ruang pembelajaran masa sekarang dan masa depan yang sudah di depan mata. Dengan segala penghematan tersebut, para pengajar dan pendidikan perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan luaran-luaran yang hebat-hebat, dituntut untuk mendatangkan dana hibah sebanyak-banyaknya untuk keperluan melengkapi sarana / prasarana kampus - yang pebisnis atau kementerian negara semakin hari semakin mengurangi anggaran nasional untuk pendidikan, sehingga berimbas pada tua dan kurang perawatannya peralatan-peralatan, instrumen belajar dan fasilitas bengkel kerja, laboratorium dan kelas-kelas yang ada bagi ruang pembelajaran peserta didik.

Perlintasan antar program studi, antar fakultas sulit dilakukan dan mustahil dilakukan karena sistem pendidikan komersil kita tidak mendukung hal itu. Tidak ada unit-unit departemen spesifik yang mengepalai bagian-bagian disiplin keilmuan tertentu, melainkan hanya sebatas koordinasi sekelompok mata pelajaran atau mata kuliah, tanpa menjadikannya sebagai suatu unit departemen khusus pembelajaran yang punya ruang kerja dan riset tersendiri. Sementara itu, bagi perusahaan penyelenggara pendidikan tinggi komersil swasta misalnya, seluruh mata pelajaran sudah dibuatkan dalam paket-paket yang siap ditawarkan dan nyaris wajib diambil oleh para peserta didik, sehingga paket-paket mata pelajaran ini tidak lagi lentur untuk diubah-ubah apalagi disesuaikan konon dengan kemerdekaan belajar peserta didik memilih pembelajaran di program studi lain, atau fakultas lain hingga ke luar dari institusinya belajar di tempat lain.

Bagaimana mungkin seorang peserta didik dengan kondisi pembelajaran yang sarana / prasarana laboratorium, bengkel kerja dan kelas-kelas yang cukup-cukup lepas syarat akreditasi dapat terserap oleh magang di industri yang tuntutannya berharap lebih pada si peserta magang, industri bukan mau menerima peserta magang yang masih tidak tahu apa-apa, masih belum menguasai pengetahuan dan ketrampilan mendasar? Kemumpunian penguasaan terhadap kemampuan mendasar dari segi pengetahuan sangat bergantung pada ketersediaan kelengkapan perpustakaan, di sisi lain kemapuan dasar ketrampilan menggunakan peralatan industri sangat bergantung pada kelengkapan pelatihan di bengkel kerja dan laboratorium kampus. Jadi, sebelum melemparkan peserta didik ke lapangan industri, institusi perguruan tinggi harus memastikan bahkan ketrampilan dan pengetahuan mendasar peserta didik sudah harus memenuhi standar kebutuhan industri di lapangan. Bukan si peserta didik baru akan belajar dan diajari oleh industri ketika terjun ke lapangan, karena pembelajaran di industri bukan 'pelajaran inti' melainkan tempat mengasah dan mempraktetkkan pengetahuan dan ketrampilan sebelumnay didapat di kampus, dan kemudian mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan tambahan di industri.

Ketika para pengusaha papan atas terkenal berminat membuka juga kampus-kampus, yang mereka inginkan hanya keuntungan semata, bukan pelayanan publik atau pengabdian kepada masyarakat, atau bahasa kerennya Corporate Social Responsibility, melainkan sembari menyelam minum air, mengurangi beban pajak sekaligus meraup laba tambahan. Gedung dan gedung adalah yang mereka pikirkan sebagai satu-satunya sarana / prasarana belajar yang utama, sedangkan kelengkapan-kelengkapan fasilitas pembelajaran lainnya hanya dan hanya jika jumlah 'intake' kemasukan peserta didik mencukupi modal dan pengeluaran gedung kampus dan tentu saja para pengajar pendidik lah yang menjadi sasaran pembebanan tanggung-jawab.

Akibatnya, honorarium yang rendah dan tuntutan yang tinggi, menyebabkan banyak pengajar perguruan tinggi menjadi 'pemain-pemain' yang memanfaatkan posisinya sebagai pengajar memanfaatkan peserta didik untuknya mendapatkan pendapatan sampingan, mulai dari menyuruh belajar les tambahan di luar kampus dengan si pengajar dan rekan-rekan tim-nya di tempat les tambahan, hingga memanfaatkan kerja peserta didik untuk kepentingan pribadi pengajar, semisalnya, pengajar ada projek pekerjaan yang dijadikan tugas mata pelajaran, hingga terang-terangan meminta jatah semacam 'komisi' kepada para peserta didik yang memenangkan hibah atau lomba sebagai balas jasa membimbing atau gratifikasi pemberian tanda tangan, surat dokumen keikutsertaan dalam acara-acara perlombaan atau hibah tersebut. Perilaku tak etis ini semakin hari semakin kebablasan. Di lain pihak, terdapat pula kebijakan kampus yang menganggap apabila pengajar atau pendidik menjadi narasumber ahli karena keahliannya diminta untuk memberikan pelatihan atau pembelajaran di industri atau institusi lainnya, maka tidak boleh dilakukan dalam jam kerja perusahaan kampus, jika ya, maka kampus berhak mengambil uang jasa atau honorarium si pengajar tersebut, dan terserah kebijakan perusahaan untuk memberikan berapa bagian kepada si pengajar yang menjadi narasumber pelatihan tersebut. Sungguh suatu perbuatan yang jauh dari adab dan akhlak, kalau tidak mau dikatakan sungguh biadad, namun menjadi legal di mata hukum. Malangnya, hal ini seperti didiamkan saja oleh tiga institusi kementrian kita, tenaga kerja, pendidikan dan riset, serta keuangan. Tidak ada yang diistimewakan dari bidang pendidikan, lebih kurang takarannya sama saja dengan pengurusan pabrik kilang. Pengajar atau pendidik ditakar dengan jam kerja dan kewajiban sama seperti pekerja pabrik.

Dengan kondisi demikian, tidak adanya kepedulian lebih dari negara dan pemerintah dalam memerhatikan dunia pendidikan, maka menjadi dianggap kewajaran apabila para pengajar menjadi 'pemain-pemain' yang memanfaatkan para peserta didiknya untuk keuntungan pribadi atau sekedar menambah pendapatan di luar minimnya honor dengan menjadi buruh perusahaan kampus. Perhatian negara dan pemerintah hanya sebatas menyediakan stok hibah-dana ini itu untuk kegiatan-kegiatan atau tambahan bagi pengajar dengan seabrek-abrek persyaratan administrasi, yang seringkali pengajar harus urus sendiri, bukan otomatis dibantu pengurusannya oleh kampus melalui unit pengurusan pengajar atau sumber daya manusia. Pada akhirnya, semua hanya sebatas yang penting ada dan berjalan seadanya dengan kandungan yang mengada-ada.


















Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘