Belakang hari ini semakin terlihat betapa mirisnya dunia pendidikan tanah air dijalankan. Pengejaran ranking menjadi komando tertinggi, bukan dengan memperbaiki infrastruktur dalaman, namun menonjolkan luaran-luaran, dengan target minimum syarat dan kompetensi. Yang diutamakan adalah pengisian kolom-kolom penilaian, tanpa ada waktu dan perhatian lagi untuk melihat apa yang di-wakilkan oleh angka-angkat penilaian tersebut. Yang terpenting adalah 'check-list' semua syarat-syarat terpenuhi.
Ambil contoh perpustakaan, jumlah buku, dan presentase tahun terbit serta judul-judul yang bisa dipakai untuk mendukung akreditasi sekaligus semua program studi jauh lebih diutamakan, ketimbang memeriksa kesesuaian ketersediaan isi buku, judul dan jumlah dengan kebutuhan bagi para pendidik dan peserta didik. Angka-angka penilaian perpustakaan adalah bagian yang paling mudah untuk dimanipulasi datanya. Bagian-bagian fasilitas perpustakaan mudah untuk didokumentasikan sekedar melengkapi daftar penilaian, tanpa perlu memeriksa lagi kesesuaian dengan kebutuhan para pengajar dan pelajarnya.
Pelajar dan Peserta didik, atau siswa dan mahasiswa seolah hanya membutuhkan pelajaran dan kuliah yang up to date alias yang kekinian, yang kontemporer. Bahkan, para pemimpin perguruan tinggi tidak lagi merasa perlu menyelidiki kebenaran isu seperti ini terkait dengan pedagogi dan proses pembelajaran. Pernyataan yang seolah membenarkan bahwa pelajaran masa lampau sudah tak penting dan dianggap afkir, sudah out-dated tidak perlu lagi dipelajari di masa yang akan datang. Hal ini juga secara naif dan banal tercermin dari persyaratan menulis artikel jurnal yang disyaratkan harus menggunakan rujukan jurnal terbitan terbaru, dan buku-buku terbitan terbaru. Seolah-olah unsur kebaruan hanya punya satu ukuran, yaitu angka tahun publikasi, dan bukan isi-nya suatu tulisan, apalagi kebaruan dalam pemikiran dari membaca teks lawas. Dari jurnal menurun kepada koleksi perpustakaan yang juga dituntut harus menyediakan koleksi sejumlah publikasi, mulai dari buku hingga jurnal bertahun terbit terbaru.
Pada akhirnya ini semua menumbuhkan jiwa kepura-puraan. Pura-puranya sudah punya koleksi publikasi terbaru, padahal hanya sejumlah kecil koleksi buku dan jurnal yang bertahun terbit tinggi, yang tersedia pun dipaksakan dalam pendataan sebagai daftar pemeriksaan bagi kelayakan akreditasi sekaligus beberapa program studi. Pura-puranya merujuk kepada artikel jurnal terbaru, padahal tidak ada relevansi dengan artikel yang ditulisnya, sekedar lepas syarat mengutip dari jurnal terbaru atau jurnal milik mitraan.
Di satu sisi menghadapi sejumlah pendidik, dan pengajar yang bukan orang-orang yang terampil menulis secara akademis. Di sisi lain, mau menulis pun, sumber bacaan koleksi di perpustakaan sekolah dan kampus pun minim, meskipun di atas kertas dan sertifikat akreditasi berlimpah ruah. Mau beli modal mandiri, diperlukan kartu pengenal sebagai tambahan diskon. Kartu pengenal pengajar suatu institusi, namun malangnya tidak semua institusi punya kebijakan menyediakan kartu pengenal bagi tiap-tiap pengajarnya. Sulitnya mengantisipasi keterbatasan dana dari sisa honor untuk mendapatkan publikasi terbaru, sehingga pengajar bergantung pada ketersediaan jaringan open-access dari jurnal-jurnal yang dilanggani oleh pemerintah melalui kementerian pendidikan tinggi yang dibagi-bagikan aksesnya kepada institusi-institusi perguruan tinggi yang terlalu irit atau pelit untuk mengeluarkan dana ekstra bagi menyediakan langganan penyedia akses jurnal terindeks yang biaya berlangganannya terhitung mahal.
Pada akhirnya para pendidik dan pengajar menulis dengan khidmat kepura-puraan, cuma membaca abstrak tapi ditulis rujukan seakan sudah membaca seluruh isinya. Menulis dengan apa yang ada dalam pikirannya, tanpa benar-benar cross-check atau membuat kajian yang sungguh-sungguh, telah pun menjadi suatu 'ketrampilan' bersilat kata bagi para pendidik dan pengajar zaman sekarang dan mendatang. Kesungguhan menjadi perilaku yang harus dibayar mahal dan penuh pengorbanan. Kesungguhan menjadi kesungguhan manipulatif, kesungguhan berpura-pura dan kepura-puraan yang menjelma menjadi Kesungguhan. Sungguh suatu kemalangan dalam ketidak-berdayaan.