Skip to main content

Bangsa yang Maju adalah Bangsa yang Menyejahterakan Para Pendidiknya, bukan sebaliknya.

 Apa yang sudah dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha negeri ini terhadap peran para pendidik di sekolah dan perguruan tinggi? Memberikan hibah dan insentif dengan segudang persyaratan wajib dipenuhi, sebagai pengalihan rasional atas rendahnya honorarium yang diberikan pada para pendidik tersebut.

Pendidik zaman sekarang tidak lagi dihargai hanya karena tingginya tingkat pendidikannya, maupun luas dan dalam keilmuan yang mereka sumbangkan. Tetapi, kewajiban mengabdikan ilmunya, dan melakukan penelitian untuk memajukan masyarakat. Sungguh mulia!

Namun, diharapkan dengan mengandalkan segala keterbatasan sumberdaya yang dapat disediakan oleh negara maupun para pebisnis pendidikan tinggi. Gaji kecil, tunjangan sedikit tuntutan bertumpuk. Bahkan, menghitung jasa profesi pendidik dengan takaran UMR buruh pabrik. Dimanakah otak dan nurani menteri-menteri pendidikan, tenaga kerja dan keuangan berada? Menyama-ratakan peran pendidik dengan pekerja buruh pabrik?

Sudah jelas dan mudah diramalkan, sampai kapan pun kalau ini  masih berlaku, negeri ini tidak akan pernah bisa maju-maju. SEMOGA SAYA SALAH, YA, ALLAH!!!

Pendidik tidak boleh menzolimi para peserta didiknya, namun, pebisnis dan pejabat negeri ini boleh berlaku dan bertindak semenanya demi marjin laba usahanya, walau itu menzolimi para pendidik anak bangsanya sendiri.

Hilang sudah orientasi pendidik yang jujur dan berkhidmat dalam mengajar dan mendistribusikan ilmunya, beralih menjadi sekedar menyampaikan informasi sekenanya sesuai dengan bayaran yang diterima. Para peserta didik protes karena para pendidik negeri ini tidak berdedikasi dan ramah seperti pendidik di luar negeri. Namun, tahukah mereka bahwa para pendidik di dalam negerinya sendiri tidak memeroleh kebahagiaan dari profesinya sebagai pendidik di institusi tempat mereka mengabdi?

Mau mengajar dan meriset , orang harus membaca terlebih dahulu, mau menulis, harus memahami terlebih dahulu. Membaca dan memahami butuh waktu yang bukan seketika dapat dicerna isi sebuah buku, atau artikel jurnal. Tapi, darimana waktu tersedia, sedangkan pendidik harus punya pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pas-pas-an bila mengandalkan honorarium dari profesi pendidik mengajar belaka.

Institusi pendidikan tinggi sendiri tidak bersedia atau tidak mau, bahkan mungkin tidak mampu menyediakan infrastruktur untuk pendidikan, pengabdian masyarakat dan penelitian secara memadai. Para pendidik disuruh mencari sarana dan prasarana sendiri. Di undang-undang, di peraturan-peraturan ditulis tertera bahwa penyelengara tri-dharma perguruan tinggi adalah institudi pendidikan itu sendiri, namun hanya di bagian penyelenggaraan pendidikan saja yang dijalankan secara sepenuhnya karena berkaitan dengan pemasukan dan laba bisnis pendidikan tinggi si pengusaha.

Sedangkan pemerintah tetap menuntut adanya dua dharma yang lainnya, yang kemudian dijalankan dengan setengah hati oleh pebisnis pendidikan tinggi, dan dilimpahkan tanggungjawabnya sebagai beban kerja dosen dan key perfomance index (KPI) sebagai kewajiban yang wajib dilaksanakan seorang pendidik, yang artinya mereka harus secara mandiri mencari dana tambahan, mencari tempat pelaksanaan dan sumber-sumber lainnya apabila institusi tempat mereka mengabdi tidak sanggup memenuhi semua itu.

Buku dan jurnal minim disediakan oleh institusi pendidikan tinggi yang dimiliki para pebisnis, karena dianggap suatu pemborosan dan tidak memberi keuntungan apa-apa. Berlangganan jurnal itu mahal harganya, maka lalu pemerintah memberikan sedikit akses kepada semua institusi pendidikan yang ada di dalam negeri. Sedikit karena hanya sedikit anggaran yang disanggupi dan disetujui oleh Negara bagi memajukan pendidikan anak bangsanya.

Dengan tidak memadainya sumber bacaan, tidak memadainya dana, dan tidak tersedianya cukup waktu melaksanakan semua dharma-dharma pendidikan tinggi itu, maka apa yang bisa diharapkan dari itu semua?

Para pendidik yang berkomitmen dan berdedikasi perlahan tapi pasti semakin surut, entah karena akhirnya tumbang mengorbankan dirinya atau mengundurkan diri dari dunia pendidikan yang sudah tidak manusiawi ini.

Maka, agar roda pendidikan tetap berjalan, penguasa dan pengusaha menerima membuka kesempatan bagi siapa saja, asal mau dan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang mereka ajukan. Maka, beragam manipulasi-manipulasi pun kian nyata adanya, mulai dari memalsukan ijazah S2 hingga S3, menggunakan jasa ghost-writer untuk tesis dan disertasi, menumpangkan nama untuk artikel jurnal, menciptakan jurnal-jurnal abal-abal yang penting lolos administratif bertahan dengan ranking akreditasi dan menjadikannya mesin pendulang fulus keuntungan dari penderitaan para pendidik yang juga abal-abal dan membutuhak persyaratan agar beroleh insentif dan tunjangan.

Penguasa maunya secara instan menaikkan ranking dunia, Pengusaha maunya secara instan mendapatkan keuntungan laba dari bisnis penyelenggaraan institusi pendidikannya. Lalu, apa yang didapat oleh bangsa ini?
Para pendidik yang bahkan tidak mampu memahami rasional pedagogis dalam menyusun kurikulum.
Para pemimpin perguruan tinggi yang tak berdaya dihadapan raksasa pemodal kapitalistik yang menuntut fulus dan laba.

Para pejabat negara yang hanya menghabiskan anggaran demi anggaran bukan untuk menyejahterakan para pendidik namun sebaliknya, membunuh mereka secara perlahan, dan mematikan kemuliaan profesi pendidikan secara pasti di masa mendatang. Profesi pendidik adalah kelak menjadi salah satu profesi yang tidak punya tempat di tanah air.

SEMOGA SAJA SAYA SALAH.

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘