Skip to main content

Kisah Negeri yang Tak Kunjung Menghargai Jasa Pendidiknya

0.Esei ini dituliskan sebagai refleksi atas suatu masa dimana penulis hidup dan mengalami sendiri betapa mendapatkan kesejateraan dari penghidupan melalui minat dan niat terhadap dunia ilmu pengetahuan kemudian membagikannya kepada anak-anak bangsa tidaklah memberikan jaminan kelayakan hidup.

1.Ada kesan dosen itu bukan profesi sebagaimana pekerjaan lainnya boleh mendapatkan kelayakan renumerasi yang berkecukupan, seolah-olah itu sebuah tabu. Bahkan, muncul motivasi negatif dari orang-orang yang konon berjiwa sosial mengabdikan hidupnya di luar dunia kependidikan dan menjadikan usaha dagangnya memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas ketimbang hanya di civitas akademika.

2.Terdapat kebingungan membedakan mana konteks menyejahterakan profesi pendidik dan mana konteks sosial peran pendidik sebagai personal makhluk sosial menyejahterakan masyarakat sekelilingnya. Yang satu sebagai dosen bertanggung-jawab atas pengembangan keilmuannya, membangun 'body of knowledge' menjadi intelektual dan menjaga kewarasan pengetahuan bagi masyarakatnya. Satunya lagi, perannya sebagai anggota masyarakat yang diberikan anugerah rezeki 'pengetahuan' dan 'jiwa sosial' untuk mau bergerak menyumbangkan pengetahuannya demi memajukan atau menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. Muncul kesombongan yang tak disadari dari pihak yang disebut belakangan ketika jiwa sosial dan tindakan sosialnya membuahkan hasil, kemudian merendahkan hingga menyepelekan pihak yang memang fokus kecintaannya pada ilmu dan peningkatan kualitas intelektualitas, sehingga dianggap egois dan tidak punya rasa tanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya.

3.Yang luput dari pemerhatian pihak kedua adalah persoalan berdagang, tidak semua orang yang berilmu maka artinya bisa menguasai atau menjalankan ilmu dagang. Berdagang bukanlah jenis ilmu pengetahuan yang secara niscaya bisa dikuasai setiap orang, dan setiap orang yang berdagang berjiwa sosial untuk mengajarkan dan menularkan kesuksesan berdagangnya. Setiap orang diberikan kadar pengetahuan, kemampuan, tenaga, kesehatan, kepandaian dan lainnya sesuai porsi dan perannya dalam kehidupan, yang tidak ada hak pada sebagian manusia lainnya yang diberikan kelebihan untuk merendahkan porsi peranan dan kemampuan yang dimiliki sebagian manusia lainnya.

4.Tidak semua dosen yang berjiwa sosial mengajarkan ilmu dagang dengan tujuan menyejahterakan masyarakat lingkungannya. Terdapat mereka yang menyumbangkan ilmunya secara cuma-cuma, tetapi bukan ilmu ekonomi berdagang. Masih banyak ilmu-ilmu lainnya, dan tidak serta merta keberhasilannya diukur hanya dengan melihat seberapa banyak masyarakat sekitarnya menjadi berpenghasilan lebih. Sekali lagi, perlu dibedakan konteks sosial dan konteks ekonomisnya. Jangan meringkus semua hal dengan kacamata 'dagang'.

5.Sementara itu, di dalam tubuh universitas sendiri masih banyak bermukim para dosen yang banyak menimbang-nimbang ilmunya dengan cara 'berdagang'. Cara pemilik perusahaan kampus memperlakukan kehidupan akademis juga lebih mirip dagang. Mengeluarkan investasi bagi fasilitas bangunan masih lebih diprioritaskan ketimbang investasi bagi fasilitas-fasilitas penunjang pembelajaran, dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

6.Membangun kompleks perpustakaan dan melengkapi koleksi buku-buku dan beragama jenis publikasi lainnya tampaknya sudah tidak begitu menjadi perhatian khusus. Meskipun dunia digital maju pesat, dan internet bukan hal yang asing lagi, namun menyediakan akses luas bagi pencarian informasi dan data melalui internet dan ketersediaan materi digital hanya disiap-sediakan sebatas lepas syarat untuk mendapatkan pengukuran akreditasi "A" saja, bukan melihat dengan sungguh-sungguh kebutuhan kelengkapan koleksi perpustakaan demi memajukan keilmuan dalam tubuh universitas.

7.Laboratorium dan Bengkel Kerja bagi dosen dan mahasiswa bukanlah barang murah, namun tampaknya tidak begitu disanggupi oleh pemilik usaha bisnis pendidikan tinggi untuk dipenuhi dengan segera, melainkan menunggu peningkatan jumlah pendaftaran dahulu sebagai tolok ukur dibangun atau tidaknya fasilitas belajar jenis ini. Atau terjadi tuntutan sebaliknya, bahwa modal yang sudah dikeluarkan untuk membangun harus segera dikembalikan. Alih-alih itu tugas dan kewajiban bidang pemasaran, mereka yang di bidang pendidikan dan pengajaran pun, yaitu dosen-dosen harus ikut bertanggung-jawab menambah kapasitas pendaftaran perkuliahan.

8.Perihal jaminan kesejahteraan bagi dosen pun semakin diabaikan. Investasi untuk barang bangunan lebih utama karena lestari tahan lama, sedangkan investasi manusia dapat usang lapuk dan pudar di makan waktu digerus zaman. Dengan perubahan-perubahan pesat teknologi, sementara universitas lebih mengutamakan investasi kebendaan, maka dengan mudah usia kerja manusia dijadikan pertimbangan untuk memensiun-dinikan dosen uzur dan mengganti dengan yang lebih muda, lebih energik. Dan dengan makin banyaknya lulusan S2, menggantikan lulusan S1 yang sudah dianggap tidak layak untuk menjadi dosen, maka harga jasa pekerjaan mengajar ini semakin murah. Demikian juga dengan lulusan doktoral S3, jika semakin banyak, maka dengan sendirinya mengikuti hukum pasar perdagangan supply dan demand. Surplus supply ketersediaan dosen dengan sendirinya menurunkan kesejahteraan yang mungkin diperolehnya. Pasokan manusia intelek tidak berbeda dengan pasokan tenaga buruh manusia. Perhitungannya dengan jam kerja pabrik, seorang buruh dihitung jam kerjanya menghasilkan produk barang tertentu, disetarakan dengan pekerjaan administratif seorang dosen. Akibatnya membaca, berpikir, menuliskan pemikiran tidak dihitung sebagai pekerjaan, melainkan ada tuntutan lainnya.

9. Tuntutan itu adalah tri-dharma perguruan tinggi. Dosen 'wajib' mendistribusikan ilmunya dalam bentuk pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk pengajaran, terikat dengan jam kerja tetap harian, dan penjadwalan serta pembagian diatur oleh universitas selaku perusahaan dagang bisnis pengelolaan pendidikan tinggi masyarakat. Untuk penelitian, universitas hanya mengandalkan laboratorium, bengkel kerja dan perpustakaan serta fasilitas ruangan pendukung lainnya, atau alat kerja seperti komputer sesuai dengan fungsi standard minimum. 'Memanjakan' atau memberi 'kenyamanan' bekerja dalam meneliti, jelas bukan tujuan sosial sesebuah perusahaan dagang bisnis pendidikan.

10.Dengan ketersediaan sumber daya yang ada, dosen harus menghasilkan penelitian yang mumpuni dengan biaya sendiri, atau kalau cukup beruntung mendapatkan sedikit talangan dana penelitian sebelum dan sesudah penelitian dijalankan. Negara pula menuntut publikasi seluas-luasnya, dengan menyediakan anggaran hibah yang tidak bisa dihitung terbesar dibanding anggaran-anggaran belanja negara lainnya. Dengan modal se-tusuk gigi diharapkan menghasilkan penelitian yang dapat bersaing dengan negara-negara lain, regional hingga internasional yang anggaran pendidikan dan penelitiannya berkali-kali lipat lebih besar dari yang mampu dan diniatkan pemerintah. Mungkin terinspirasi dari bagaimana perang kemerdekaan dimulai dengan senjata bamburuncing, sehingga diharapakn dosen bisa menyulap tusuk gigi menjadi rudal balistik antar benua yang menginternasional.

11.Sementara kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya sendiri harus dicarikan jalan keluar, karena renumerasi gaji dari perusahaan dagang bisnis pendidikan belum mencuupi, bersaing untuk mendapatkan hibah penelitian dengan keterbatasan sumber daya dan fasilitas juga belum tentu memberikan jaminan bagi setiap individu dosen, sudah wajib pula beban kerja dosen menyumbangkan jiwa sosialnya bagi menyejahterakan masyarakat di lingkungannya. Meskipun ditetapkan oleh negara bahwa penyelenggara pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat adalah universitas, namun dalam praktiknya hanya bidang pendidikan yang diatur penyelenggaraannya oleh kampus. Pengabdian kepada masyarakat, bagi sebagian dosen masih harus diselenggarkan perseorangan karena alasan keterbatasan universitas sebagai perusahaan dagang menjalankan fungsi sosial kemasyarakatannya. Dosen harus menyisihkan gajinya untuk mengurusi administratif penyelenggaraan kegiatan pengabdian kepada masyarakatnya.

12.Apakah ada insentif tunjangan diberikan untuk dosen-dosen? Ada, tapi dengan sekian banyak persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, karena setiap peser yang dikeluarkan oleh perusahaan dagang bisnis pendidikan tinggi ini sungguh kalkulatif. Poin-poin harus memberikan penilaian positif bagi pemeringkatan universitas. Jadi, sesungguhnya dosen itu mengabdikan hidupnya kepada perusahaan dagang dengan label nama Universitas.

13.Dalam mengembangkan penelitian, universitas bukan karena sudah menggaji dosen, maka merasa berhak menuntut dosen menghasilkan penelitian dan publikasi tanpa memberikan modal pendanaan atau fasilitas sama sekali. Dosen-dosen ahli berkumpul mendirikan pusat-pusat studi yang diberikan modal awal, fasilitas mendasar untuk memulai penelitian, menghasilkan kajian, atau produk penelitian, mendistribusikan pengetahuan, menerbitkan jurnal tersendiri, hingga akhirnya mampu mandiri mendapatkan dana-dana hibah dari sponsor dari luar kampus. Kalau memang mau menggunakan cara kerja perusahaan dagang bisnis pendidikan, maka unit-unit lini bisnis perusahaan kampus ini adalah pusat-pusat studi yang didanai untuk menghasilkan produk intelektual. Bukan memberi modal tusuk gigi lalu menuntut dosen menciptakan rudal balistik antar benua yang bisa memberikan penghasilan tambahan bagi kampus, atau bahkan menuntut dosen dengan penelitiannya menghasilkan gaji untuk dirinya sendiri, dan kalau bisa memberikan laba bagi perusahaan dagang bisnis pendidikan tempatnya bernaung (homebased).

14.Sederhananya, negeri yang tak kunjung menghargai jasa pendidiknya secara layak menunjukkan kualitas negeri tersebut. Negeri yang tidak menaruh keseriusan dan membela kepentingan pembangunan intelektual bangsanya, maka jangan diharap dapat keluar dari kemelut kebangsaan dan menggapai kemajuan-kemajuan bersaing dengan bangsa dan negara lain. Negeri yang tidak berani berkorban demi pendidikannya, jangan sesekali berani meminta pertanggungjawaban terhadap anak-anak negerinya dengan mengatakan jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan padamu, tapi tanyalah apa yang sudah kauberikan pada negerimu, ini adalah permintaan yang teramat memalukan bagi suatu negeri yang menempatkan urusan pendidikan hanya sebagai persoalan perdagangan bisnis pendidikan 'manusia'.



Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘