Barangkali ini adalah sebuah pengaduan. Saat ini di berita-berita politik sedang hangat tentang pengadu yang mengungkapkan kebenaran justru diserang balik dan dituduh sebagai pengadu yang bertindak illegal karena merekam tanpa izin (mungkin izin dari penegak hukum yang berwenang).
Apa yang hendak kutuliskan ini tidak ada kaitannya dengan perpolitikan, meski dalam skala kecil tersangkut dengan politik dalam lingkungan bisnis industri pendidikan desain komunikasi visual.
Satu hal yang membuat senirupa dan desain grafis sulit berkembang keilmuannya adalah karena orientasi pendidikannya adalah menghasilkan pekerja seni dan desain yang sukses. Sukses dalam pengertian yang direduksi pada keberhasilan secara finansial. Tidak ada ilmu pengetahuan senirupa atau desain dibicarakan disini selain ketrampilan memanfaatkan pengetahuan praktis untuk menghasilkan rupiah lebih banyak.
Tidak dapat dipungkiri, keilmuan dan pengetahuan dari bersekolah senirupa dan desain grafis ini adalah ketrampilan praktis. Tanpa ketrampilan praktis ini, mustahil muncul profesi seniman visual atau desainer grafis.
Sayangnya, ketika belajar dan mempelajari hal yang baru, mengembangkan pengetahuan dan berinovasi, menjadi sesuatu yang dianggap terlalu kompleks, terlalu menyusahkan dan tidak menguntungkan untuk dipelajari, maka senirupa menjadi sesuatu yang terlalu ideal, dan desain dinilai menjadi tempat pelarian yang paling pas antara keinginan ideal dan kepentingan finansial.
Menjalani kuliah desain tidaklah semurah bersekolah di bidang ekonomi dan manajemen, di sisi lain meski memakan biaya cukup besar - sedikit dibawah kedokteran atau arsitektur misalnya, prestise lulusan desain tidaklah dipandang setinggi calon dokter atau arsitek. Dari segi apresiasi kesenirupaan, karya-karya desain juga masih dipandang kurang 'mulia' berbanding karya-karya senirupa.
Saya menekuni bidang pendidikan desain grafis sejak hampir sepuluhan tahun lalu, melanjutkan perkuliahan strata dua selama satu setengah tahun dan dilanjutkan hampir empatbelas semester untuk menyelesaikan studi doktoral. Semuanya masih dalam ranah kesenirupaan dan desain komunikasi visual. Cita-cita aku sederhana saja, karena berminat dan berniat di dunia pendidikan desain ini, maka harus punya bekal keilmuan yang memadai. Keilmuan dan pengetahuan yang bukan cuma berdasarkan common-sense yang didapat dari praktek bekerja di lapangan. Pekerjaan di lapangan kerja desain, selalu tidak jauh dari bagaimana agar bisnis jasa desain bertahan, mendapatkan klien, mengerjakan sesuai target, sesuatu yang tidak membutuhkan jenjang kuliah tinggi-tinggi untuk sukses.
Malangnya, dunia kita bukanlah dunia yang riil. Salah kaprah membandingkan pendidikan dengan kesuksesan finansial. Seorang lulusan strata tiga dituntut untuk menciptakan lapangan kerja, membuat bisnis sendiri, menjual ilmu untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Semua keilmuan direduksi sebagai alat untuk mencapai kesuksesan hidup yang terukur dari seberapa besar rupiah bisa didapat dari mengomersilkan pengetahuannya.
Karena itu tidaklah mengherankan, manakala ada universitas yang menolak lulusan PhD dengan bidang keilmuan senirupa dan desain, karena mahasiswanya masih sedikit, belum butuh staff dosen yang bergelar tinggi-tinggi. Lagipula dengan sistem pengelolaan manajemen yang sangat bergantung kepada komputerisasi, universitas-universitas juga tidak begitu peduli dengan kualitas riil para dosennya. Sejauh yang penting dosen bisa menngajar sesuai materi yang sudah disepakati bersama atau sesuai dengan yang dibikin oleh koordinator mata kuliah. Dosen-dosen desain yang konon membidani keilmuan yang konon kreatif ini, diringkus bak sekrup-sekrup yang kalau rusak bisa digantikan siapa saja asalkan cocok spesifikasi, bahkan bisa jadi selalu tersedia dosen-dosen yang standby siap sedia menggantikan dosen-dosen kalau berhalangan hadir. Semua ini karena semua materi disiapkan sudah tersedia dalam teknologi presentasi yang tinggal dibacakan di depan layar menggunakan peralatan presentasi.
Maka dari itu muncullah 'mendadak dosen', mereka yang sejak kuliah tak pernah peduli dengan diskursus keilmuannya, tak pernah mempertanyakan sudah 'benar'-kah apa yang diajarkan dan apa yang dipelajari, tiak pernah mempertanyakan keilmuannya sendiri, mendadak karena satu dan lain hal kurang sukses dengan peruntungan bisnis di lapangan, lalu mencari jalan keselamatan dengan 'menjual ilmu' praktis dari kegagalannya berbisnis ke kampus-kampus yang berprogram studi desain komunikasi visual. Selain itu juga terdapat cukup ramai pebisnis sukses yang mencari duit sampingan dengan mengajar. Di sela-sela pelbagai kepentingan yang tidak berkontribusi langsung dengan perbaikan kualitas pendidikan dan pembelajaran desain ini, terkadang masih muncul kesadaran dari segelintir kecil dosen-dosen yang mulai peduli. Akan tetapi, halangan terbesarnya adalah sejak kuliah mahasiswa senirupa dan desain memang kurang suka teori, kurang suka membuat analisa teoretis, atau tepatnya bahkan tidak pernah hal demikian - menganalisa, membahasakan visual, membicarakan ekspresi visual - menjadi pelajaran kuliah dan latihan essay yang dianggap dibutuhkan atau bahkan menjadi bagian penting dari proses pembelajaran calon seniman ataupun desainer grafis.
Jadi, hal yang ajaib adalah siapa saja desainer grafis yang sudah pernah menjalani profesi sebagai desainer, dianggap bisa menjadi dosen mata kuliah praktek. Sedangkan untuk kuliah yang sifatnya teoretis diserahkan kepada dosen yang dilihat suka baca, atau bersedia mengajarkannya. Kompetensi, dedikasi dan integritas para dosen diukur dari kesediaan mengikuti prosedural administratif seperti absensi kehadiran, kesesuain materi ajar dengan satuan ajar yang sudah dibakukan, dan sejenisnya. Perkara dosen menyiapkan sendiri, mengembangkan sendiri, bahkan membeli sendiri pustaka atau peralatan bantu mengajar itu sama sekali tidak mendapat tempat, atau dengan istilah teknisnya tidak ada variabel yang menyebutkan bagian ini, kecuali dianggap sudah 'include' atau 'all in' dalam 'total take homepay' yang diberikan perusahaan institusi pendidikan.
akan disambung...
Apa yang hendak kutuliskan ini tidak ada kaitannya dengan perpolitikan, meski dalam skala kecil tersangkut dengan politik dalam lingkungan bisnis industri pendidikan desain komunikasi visual.
Satu hal yang membuat senirupa dan desain grafis sulit berkembang keilmuannya adalah karena orientasi pendidikannya adalah menghasilkan pekerja seni dan desain yang sukses. Sukses dalam pengertian yang direduksi pada keberhasilan secara finansial. Tidak ada ilmu pengetahuan senirupa atau desain dibicarakan disini selain ketrampilan memanfaatkan pengetahuan praktis untuk menghasilkan rupiah lebih banyak.
Tidak dapat dipungkiri, keilmuan dan pengetahuan dari bersekolah senirupa dan desain grafis ini adalah ketrampilan praktis. Tanpa ketrampilan praktis ini, mustahil muncul profesi seniman visual atau desainer grafis.
Sayangnya, ketika belajar dan mempelajari hal yang baru, mengembangkan pengetahuan dan berinovasi, menjadi sesuatu yang dianggap terlalu kompleks, terlalu menyusahkan dan tidak menguntungkan untuk dipelajari, maka senirupa menjadi sesuatu yang terlalu ideal, dan desain dinilai menjadi tempat pelarian yang paling pas antara keinginan ideal dan kepentingan finansial.
Menjalani kuliah desain tidaklah semurah bersekolah di bidang ekonomi dan manajemen, di sisi lain meski memakan biaya cukup besar - sedikit dibawah kedokteran atau arsitektur misalnya, prestise lulusan desain tidaklah dipandang setinggi calon dokter atau arsitek. Dari segi apresiasi kesenirupaan, karya-karya desain juga masih dipandang kurang 'mulia' berbanding karya-karya senirupa.
Saya menekuni bidang pendidikan desain grafis sejak hampir sepuluhan tahun lalu, melanjutkan perkuliahan strata dua selama satu setengah tahun dan dilanjutkan hampir empatbelas semester untuk menyelesaikan studi doktoral. Semuanya masih dalam ranah kesenirupaan dan desain komunikasi visual. Cita-cita aku sederhana saja, karena berminat dan berniat di dunia pendidikan desain ini, maka harus punya bekal keilmuan yang memadai. Keilmuan dan pengetahuan yang bukan cuma berdasarkan common-sense yang didapat dari praktek bekerja di lapangan. Pekerjaan di lapangan kerja desain, selalu tidak jauh dari bagaimana agar bisnis jasa desain bertahan, mendapatkan klien, mengerjakan sesuai target, sesuatu yang tidak membutuhkan jenjang kuliah tinggi-tinggi untuk sukses.
Malangnya, dunia kita bukanlah dunia yang riil. Salah kaprah membandingkan pendidikan dengan kesuksesan finansial. Seorang lulusan strata tiga dituntut untuk menciptakan lapangan kerja, membuat bisnis sendiri, menjual ilmu untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Semua keilmuan direduksi sebagai alat untuk mencapai kesuksesan hidup yang terukur dari seberapa besar rupiah bisa didapat dari mengomersilkan pengetahuannya.
Karena itu tidaklah mengherankan, manakala ada universitas yang menolak lulusan PhD dengan bidang keilmuan senirupa dan desain, karena mahasiswanya masih sedikit, belum butuh staff dosen yang bergelar tinggi-tinggi. Lagipula dengan sistem pengelolaan manajemen yang sangat bergantung kepada komputerisasi, universitas-universitas juga tidak begitu peduli dengan kualitas riil para dosennya. Sejauh yang penting dosen bisa menngajar sesuai materi yang sudah disepakati bersama atau sesuai dengan yang dibikin oleh koordinator mata kuliah. Dosen-dosen desain yang konon membidani keilmuan yang konon kreatif ini, diringkus bak sekrup-sekrup yang kalau rusak bisa digantikan siapa saja asalkan cocok spesifikasi, bahkan bisa jadi selalu tersedia dosen-dosen yang standby siap sedia menggantikan dosen-dosen kalau berhalangan hadir. Semua ini karena semua materi disiapkan sudah tersedia dalam teknologi presentasi yang tinggal dibacakan di depan layar menggunakan peralatan presentasi.
Maka dari itu muncullah 'mendadak dosen', mereka yang sejak kuliah tak pernah peduli dengan diskursus keilmuannya, tak pernah mempertanyakan sudah 'benar'-kah apa yang diajarkan dan apa yang dipelajari, tiak pernah mempertanyakan keilmuannya sendiri, mendadak karena satu dan lain hal kurang sukses dengan peruntungan bisnis di lapangan, lalu mencari jalan keselamatan dengan 'menjual ilmu' praktis dari kegagalannya berbisnis ke kampus-kampus yang berprogram studi desain komunikasi visual. Selain itu juga terdapat cukup ramai pebisnis sukses yang mencari duit sampingan dengan mengajar. Di sela-sela pelbagai kepentingan yang tidak berkontribusi langsung dengan perbaikan kualitas pendidikan dan pembelajaran desain ini, terkadang masih muncul kesadaran dari segelintir kecil dosen-dosen yang mulai peduli. Akan tetapi, halangan terbesarnya adalah sejak kuliah mahasiswa senirupa dan desain memang kurang suka teori, kurang suka membuat analisa teoretis, atau tepatnya bahkan tidak pernah hal demikian - menganalisa, membahasakan visual, membicarakan ekspresi visual - menjadi pelajaran kuliah dan latihan essay yang dianggap dibutuhkan atau bahkan menjadi bagian penting dari proses pembelajaran calon seniman ataupun desainer grafis.
Jadi, hal yang ajaib adalah siapa saja desainer grafis yang sudah pernah menjalani profesi sebagai desainer, dianggap bisa menjadi dosen mata kuliah praktek. Sedangkan untuk kuliah yang sifatnya teoretis diserahkan kepada dosen yang dilihat suka baca, atau bersedia mengajarkannya. Kompetensi, dedikasi dan integritas para dosen diukur dari kesediaan mengikuti prosedural administratif seperti absensi kehadiran, kesesuain materi ajar dengan satuan ajar yang sudah dibakukan, dan sejenisnya. Perkara dosen menyiapkan sendiri, mengembangkan sendiri, bahkan membeli sendiri pustaka atau peralatan bantu mengajar itu sama sekali tidak mendapat tempat, atau dengan istilah teknisnya tidak ada variabel yang menyebutkan bagian ini, kecuali dianggap sudah 'include' atau 'all in' dalam 'total take homepay' yang diberikan perusahaan institusi pendidikan.
akan disambung...