Sekarang ini semakin ramai orang yang membaca dan mengambil fakta di sana-sini, tetapi tidak menyadari bahwa apa yang dinamakan fakta dan apa yang sebenarnya dibaca olehnya. Berikut ini adalah penggalan kisah yang sering dijadikan rujukan tentang masalah pertemanan seorang muslim dan non-muslim. Saya mengopi-paste dari situs di internet dan dengan sengaja tidak mencatatkan narasumber-nya hanya link ini: http://ruslihasbi.wordpress.com/hikmah/r/
------------------------------------
Mengangkat Pembantu
Jangankan untuk menjadi pemimpin, untuk menjadi pembantu pun peluang seorang Yahudi dan Nasrahi patut dipertanyakan. Dari ‘Ayyadh diceritakan bahwa Saidina Umar Ra memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari (sahabat Nabi) untuk memberikan laporan tentang apa yang telah diambil dan diberikan oleh rakyat. Wakana lahu katib nasrani.. Abi Musa mempunyai seorang sekretaris yang beragama Nasrani. Farafa’a ilaihi… kemudian Abu Musa menyuruh sekretarisnya untuk membacakan isi laporan. Laporan tersebut ternyata sangat detil dan teliti. Umar r.a. yang tidak mengetahui status agama yang dianut oleh sekretaris tersebut menjadi kagum dan berkata, “inna haza lahafidz” ini memang jujur sekali. Kemudian Umar berkata, “Hal anta qori’ lana kitaban fil masjid ja-a min Syam?” Umar menawarkan kepada sektretaris tersebut untuk membacakan di dalam masjid sebuah surat yang baru saja tiba dari Syam (Suriah).
Namun Abu Musa menyela dengan mengatakan bahwa seketretaris tersebut tidak bisa membacakan surat tersebut di Masjid. Lalu Umar bertanya kenapa. Apakah karena ia berjunub sehingga tidak bisa masuk masjid? Faqala la bal nasrani.. “dia tidak berjunub, tetapi dia seorang Nasrani”. Saidina Umar langsung marah dan memukul paha Abi Musa. tsumma qala akhrijuhu, kata saidina Umar, “keluarkan Nasrani itu dari sini!”
Di sini kita pahami bahwa masalah pemilihan sosok pemimpin (dan pembantu – red) adalah masalah sensitif yang perlu kehati-hatian. Jangan sampai kita diatur oleh orang-orang yang telah jelas-jelas perannya bagi umat Islam dilarang oleh Allah SWT.
------------------------------------
Penulis diatas tampak dari situs jaringannya adalah seseorang yang terlihat arif dalam bidang dakwah. Tetapi kisah Imam Umar r.a tersebut dimaknai secara induktif sehingga melupakan dalam konteks apakah berita ini diwartakan.
Kita coba untuk membacanya dengan sedikit jernih bahwa Imam Umar r.a memberi perintah kepada:
"Abu Musa Al Asy’ari (sahabat Nabi) untuk memberikan laporan tentang apa yang telah diambil dan diberikan oleh rakyat."
Secara kontekstual kita dapat mengasumsikan bahwa yang sedang diwartakan ini berkaitan dengan 'rahasia' pemerintahan yang sedang dipimpin oleh khalifah Imam Umar r.a.
Kemudian ditambahkan lagi kejadian berikut ini:
"Umar menawarkan kepada sektretaris tersebut untuk membacakan di dalam masjid sebuah surat yang baru saja tiba dari Syam (Suriah)."
Begitu pula hal ini, tentunya surat tersebut mempunyai tingkat kerahasiaan yang lebih tinggi, mustahil khalifah Imam Umar r.a akan membiarkan yang bukan muslim terpercaya untuk membacanya.
Tingkat kehati-hatian dalam kondisi seperti diwartakan diatas tentu berbeda dengan kondisi keseharian kita saat ini. Dan mengambil kesimpulan sepotong kisah yang terjadi di masa Khalifah Imam Umar r.a kemudian mengeneralisirnya untuk semua keadaan tentunya bukanlah suatu tindakan yang bijak apalagi benar.
------------------------------------
Mengangkat Pembantu
Jangankan untuk menjadi pemimpin, untuk menjadi pembantu pun peluang seorang Yahudi dan Nasrahi patut dipertanyakan. Dari ‘Ayyadh diceritakan bahwa Saidina Umar Ra memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari (sahabat Nabi) untuk memberikan laporan tentang apa yang telah diambil dan diberikan oleh rakyat. Wakana lahu katib nasrani.. Abi Musa mempunyai seorang sekretaris yang beragama Nasrani. Farafa’a ilaihi… kemudian Abu Musa menyuruh sekretarisnya untuk membacakan isi laporan. Laporan tersebut ternyata sangat detil dan teliti. Umar r.a. yang tidak mengetahui status agama yang dianut oleh sekretaris tersebut menjadi kagum dan berkata, “inna haza lahafidz” ini memang jujur sekali. Kemudian Umar berkata, “Hal anta qori’ lana kitaban fil masjid ja-a min Syam?” Umar menawarkan kepada sektretaris tersebut untuk membacakan di dalam masjid sebuah surat yang baru saja tiba dari Syam (Suriah).
Namun Abu Musa menyela dengan mengatakan bahwa seketretaris tersebut tidak bisa membacakan surat tersebut di Masjid. Lalu Umar bertanya kenapa. Apakah karena ia berjunub sehingga tidak bisa masuk masjid? Faqala la bal nasrani.. “dia tidak berjunub, tetapi dia seorang Nasrani”. Saidina Umar langsung marah dan memukul paha Abi Musa. tsumma qala akhrijuhu, kata saidina Umar, “keluarkan Nasrani itu dari sini!”
Di sini kita pahami bahwa masalah pemilihan sosok pemimpin (dan pembantu – red) adalah masalah sensitif yang perlu kehati-hatian. Jangan sampai kita diatur oleh orang-orang yang telah jelas-jelas perannya bagi umat Islam dilarang oleh Allah SWT.
------------------------------------
Penulis diatas tampak dari situs jaringannya adalah seseorang yang terlihat arif dalam bidang dakwah. Tetapi kisah Imam Umar r.a tersebut dimaknai secara induktif sehingga melupakan dalam konteks apakah berita ini diwartakan.
Kita coba untuk membacanya dengan sedikit jernih bahwa Imam Umar r.a memberi perintah kepada:
"Abu Musa Al Asy’ari (sahabat Nabi) untuk memberikan laporan tentang apa yang telah diambil dan diberikan oleh rakyat."
Secara kontekstual kita dapat mengasumsikan bahwa yang sedang diwartakan ini berkaitan dengan 'rahasia' pemerintahan yang sedang dipimpin oleh khalifah Imam Umar r.a.
Kemudian ditambahkan lagi kejadian berikut ini:
"Umar menawarkan kepada sektretaris tersebut untuk membacakan di dalam masjid sebuah surat yang baru saja tiba dari Syam (Suriah)."
Begitu pula hal ini, tentunya surat tersebut mempunyai tingkat kerahasiaan yang lebih tinggi, mustahil khalifah Imam Umar r.a akan membiarkan yang bukan muslim terpercaya untuk membacanya.
Tingkat kehati-hatian dalam kondisi seperti diwartakan diatas tentu berbeda dengan kondisi keseharian kita saat ini. Dan mengambil kesimpulan sepotong kisah yang terjadi di masa Khalifah Imam Umar r.a kemudian mengeneralisirnya untuk semua keadaan tentunya bukanlah suatu tindakan yang bijak apalagi benar.
Wallahualam.