Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 18

pernah tertanya-tanya dalam pikiran, apa yang menjadi prasyarat seseorang untuk layak menjadi pendakwah? atau kesiapan-kesiapan apa yang sepatutnya dimiliki seorang alim ulama dan ustaz-ustazah untuk layak berdakwah?

Yang sudah biasa saya dengar adalah dari sudut moralitas akhlak dan berbagai ketentuan penguasaan ilmu islam dan bahasa arab. Yang sering dinomorduakan adalah kemampuan berargumentasi, logika nalar, dan daya persuasi dari sang pendakwah.

Tanpa sengaja saya memang menyukai ulasan tentang ilmu fiqih, dan berbagai metode-metode kajian hadist dan tafsir Quran. Misalnya bagaimana syarat-syarat untuk mempelajari ilmu hadist dan tafsir Quran yang berlapis-lapis dan sangat ketat unsur keilmuannya dan dituntut ketelitian yang tinggi.

Setelah sedikit merenung, sampailah saya pada sebuah kesimpulan. Kesimpulan yang merupakan kerinduan seorang umat untuk mendapat petunjuk dari Allah melalui alim ulama,kalau bukan melalui kata-kata dari suaranya langsung, cukuplah kiranya buku-buku yang mereka tulis.

Saya berpikir bahwa seorang alim ulama, ustaz-ustazah dan tokoh agama yang berdakwah sepatutnya memiliki keilmuan yang tinggi lagi bijaksana. Harapan saya,

pertama, mereka setidaknya adalah penghafal Al Quran dan Hadist, entah sedikit seperempat atau setengah atau seluruhnya. Karena rasanya sukar bagi seorang untuk berargumen diskusi dengan umatnya kalau tidak dengan cara dialog. Dalam dialog pendakwah memegang peran sentral, karena itu dia perlu memahami bukan hanya apa yang ia ucapkan tetapi juga memahami apa yang lawan bicaranya ucapkan dan juga para khalayak pendengarnya.

AlQuran dan hadist perlu dihafal supaya dialog menjadi lancar dan mempunyai dasar-dasar rujukan yang jelas.

kedua, penguasaan terhadap berbagai metode keilmuan islam yang menurut saya sama kokohnya dan lebih detil dibandingkan dengan keilmuan umum lainnya. Misalnya penguasaan terhadap metode penelitian hadist oleh Imam Bukhari sama ilmiahnya dengan riset kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, imam Bukhari menghafal sekian puluh ribu hadist. Kemudian diteliti jalur perawiannya. Kemudian secara kualitatif diuji keabsahannya melalui pencarian jalur perawinya. Bahkan ditambahkan pula dengan penelitian kualitatif terhadap kualitas bukan saja hadist yang disampaikan melainkan kualitas pribadi si perawinya sendiri.

Pendek kata, seorang pendakwah harusnya mempunyai kemampuan riset yang tinggi dan tidak kalah dari mereka yang menuntut ilmu di universitas hingga ke strata tiga sekalipun.

ketiga, menguasai atau setidaknya mengenal metode pengetahuan umum agar proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak sekedar cocok mencocokkan dengan hukum, syariat dan akidah islam saja. Tetapi lebih merupakan upaya mengintegrasikan perikehidupan manusia ke arah kemajuan yang semakin menuju ke ketauhidan. Seorang pendakwah setidaknya perlu menguasai metode berpikir yang sering dikataka barat atau sekuler. Karena Allah hanya memberi pengetahuan kepada manusia, tidak kepada syaitan, oleh sebab itu ilmu-ilmu yang dikatakan sekuler sekalipun adalah pemikiran manusia yang memakai akal yang diberikan seizin Allah. Adalah diharapkan seorang pendakwah mampu menganalisa, menafsirkan, berargumen dan menyempurnakan pemikiran yang dikatakan sekuler itu supaya kembali ke jalan yang lurus.

keempat,para pendakwah ini harus mampu menjadi contoh teladan bagi masyarakat dilingkungannya. Menjadi panutan bukan hanya soal formalitas beribadah, tetapi juga dalam berbagai kegiatan informal sehari-hari sebagai manusia biasa. Ketekunan bekerja, kesabaran dalam berusaha, tutur-kata yang senantiasa lembut, orang yang penuh pengertian dan dermawan, adalah sedikit dari contoh kualitas manusia yang dipandang baik bagi masyarakat kita ditengah-tengah memburuknya moralitas masyarakat belakang hari ini.

kelima, kejujuran, integritas dan disiplin adalah mutlak dimiliki para pendakwah. Tahu bagaimana membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan umum, kepentingan dakwah dan kepentingan pekerjaan. Bukan berarti karena alasan pergi berdakwah menelantarkan keluarga atau bisnis yang sedang dijalankan. Jangan sampai berdakwah karena Allah Ta'ala dijadikan alasan untuk menghindari tanggung-jawab sebagai seorang pekerja, karyawan, atau pemimpin.

keenam, menjaga kebersihan, kesehatan dan mempunyai adab terhadap keindahan diri sendiri. Kadang-kadang saya merasa geli dengan pendakwah yang memaksakan diri memelihara janggut sekedar mengartikan sunnah Nabi. Dalam pandangan saya sunnah Nabi untuk memelihara janggut, bukan sekedar menumbuhkan hingga panjang tetapi adalah sebuah isyarat untuk menjaga penampilan diri. Apakah fashion Nabi dan para sahabat berbeda dengan fashion orang-orang jahiliyah yang sejaman dengan mereka? Dimana letak perbedaan gaya pakaian Nabi dan dimana persamaannya?

Bagi kita yang tidak punya janggut secara alamiah, kalau ingin juga tampil bersih dan rapi dengan janggut, maka peliharalah dengan baik. Tentu saja bagi bangsa arab dan orang-orang yang secara genetis alamiahnya punya janggut yang lebat adalah lebih mudah pemeliharaannya berbanding dengan mereka yang tidak punya janggut lebat secara alamiah. Karena itulah pilihan kata-kata sunnah Nabi adalah memelihara, jadi perlu diupayakan supaya janggut tampak rapi, bersih dan indah dipandang.

Demikian juga dengan potongan pakaian, warna dan stelannya. Senantiasa perlu dicuci bersih, dipilih jahitannya yang baik dan kuat, serta komposisi dan desain pakaian itu sendiri.

Apakah para alim ulama, ustaz-ustazah, dan tokoh-tokoh muslim telah menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat? Baik dari moral akhlak pribadi maupun pergaulan dan sosialisasinya dengan lingkungan. Sehingga umat islam pun bangga dan mengindahkan nasehat-nasehat mereka, sehingga mereka yang non-muslim merasa nyaman dan mencintai serta menjadikan umat islam sebagai role model mereka. Sudah mampukah kita untuk itu? Sudah mampukah para alim ulama yang dikatakan penerus risalah Nabi menjadi role model seperti itu?

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘