Skip to main content

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya.

Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan juga.

Si Miskin ini lalu berpikiran jahat pada Si Kaya, dan Si Kaya dengan sendirinya juga berprasangka Si Miskin ini berniat jahat. Si Miskin menyangka semua orang kaya adalah sama, demikian pula Si Kaya menyangka semua orang miskin adalah sama.

Si Miskin merampok Si Kaya tapi Si Kaya punya Si Tukang Kepruk, habislah Si Miskin kena kepruk dan lari tunggang-langgang. Yang lebih menyedihkan Si Miskin punya teman Si Penjual Sayur di pasar. Di pasar ada Si Preman yang berlindung dibalik nama besar organisasi pemuda dan kemasyarakatan. Makin hari makin banyak Si Preman yang berbeda organisasi dan aliran. Akhirnya Si Preman – Si Preman ini saling bergaduh satu sama lain. Mereka bawa pedang panjang-panjang dan saling menjajal berdarah-darah. Akhirnya mereka seri, sama-sama mati. Teman-teman Si Preman bersahabat kembali, lalu mereka mengutip uang keamanan pada Si Penjual Sayur dan Si Penjual – Si Penjual lainnya yang berjualan di pasar. Kalau dulu cuma ada satu Si Preman yang perlu di nafkahi, sekarang ada banyak Si Preman yang terpaksa harus di nafkahi.

Si Penjual Sayur ini biarpun miskin harta tetapi tidak miskin jiwanya. Dia rajin membuang sampahnya dengan memberi uang lebih kepada Si Tukang Sampah yang membuang sampah di sekitar tempat penduduk dekat pasar itu. Disamping itu Si Penjual Sayur dan kawan-kawannya juga rutin membayar uang sampah kepada Si Pemda setempat, tapi sayangnya sampah-sampah itu tak bergeming karena memang tidak ada Tukang Sampah yang khusus membersihkan. Jadi, Si Penjual Sayur sebenarnya miskin bukan karena miskin tapi karena harus menafkahi beberapa orang sekaligus selain anak dan bininya sendiri.

Ketidak-berdayaan juga membuat orang menjadi rasis. Ketika seorang tukang beca miskin yang kurang santun mengantar seorang pembantu rumah tangga pulang harian, ia mencoba memerasnya, manakala ia melihat si Nyonya rumah adalah seorang warga keturunan berkulit kuning (sebenarnya entah dimana kekuningan kulit ini kita juga tak tahu). Serta merta dia mengeluh bayaran yang disepakati kurang, dari keluhan menjadi ancaman melempar kaca rumah kalau tidak diberi lebih. Lucunya si tukang beca tidak peduli kalau ongkos beca yang dia minta itu adalah dari si pembantu rumah tangga yang juga miskin dililit hutang suaminya. Si Nyonya warga keturunan tidak berdaya menerima ancaman berdasarkan rasisme itu, dan memenuhi permintaan si Tukang Beca. Lalu suami si Nyonya warga keturuan itu pun turun tangan, dengan serta merta dia memberithu teman sejawatnya yang adalah ketua sebuah organisasi pemuda di daerah itu. Singkat cerita si Tukang beca berhasil di cegat di ujung jalan, dan serta merta dipaksa untuk balik ke rumah si Nyonya tadi dan meminta maaf atas ketidaksopanannya. Si Suami pun keluar rumah, rupanya dia warga pribumi, bukan warga keturuan sebagaimana istrinya. Maka lembutlah si Tukang beca berkata-kata sembari meminta maaf. Kekerasan seringkali menjadi jalan tengah yang suka dipilih oleh manusia dalam ketidak berdayaannya. Si Tukang beca mengancam si Nyonya rumah warga keturunan yang disangkanya tidak akan berdaya melawan. Sebaliknya suami si Nyonya rumah membalas ketidakberdayaan istrinya dengan meminta pertolongan temannya. Suasana terbalik dan giliran si Tukang beca yang menjadi orang tidak berdaya. Baik kemiskinan maupun kekayaan, dua-duanya dapat diperalat oleh kekerasan manakala mereka tidak berdaya.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘