Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 17

Hari Raya Haji kali ini aku mendengar kotbah yang diselingi air mata karena khatib terkenang pada ayahandanya yang berpulang ke rahmatullah sekitar enam tahun yang lalu. Kotbah ini berkisar tentang kisah para orang tua dan anak mereka, berdasarkan tafsiran sang khatib atas hadist yang dikumpulkan oleh Ibnu Majah dan interpretasi dari Al-Ghazali.
Pendek kata, kisah itu tentang ruh orang tua yang gembira karena anak mereka beribadah dan mendoakan mereka, dan ruh orang tua yang bersedih karena anak mereka tidak beribadah dan tidak mendoakan mereka sama sekali. Kisah ini sedih terasa karena sebagai anak kita menyadari posisi kunci kita dimana arwah ayah dan ibu kita sangat mengharapkan doa-doa dari kita, anak-anaknya, agar berkurang beban siksa di alam kubur. Alam kubur disini artinya adalah alam barzakh, alam dimana terdapat tirai antara dunia fana kita dengan dunia sana tempat para ruh manusia menunggu hari kiamat.
Umat islam percaya bahwa setelah mati dan sebelum datangnya kiamat, meski jasad kita telah hancur, ruh kita akan tetap berada di sebuah alam tersendiri dimana siksa kubur akan dijalankan karena dosa-dosa selama hidup di dunia fana yaitu melupakan Allah.
Namun ada satu hal menjadi tanda tanya dalam hati. Apakah dengan demikian kita yang kelak menjadi orangtua harus mendidik anak taat beribadah semata-mata agar mereka kelak mendoakan kita setelah kita orangtuanya meninggal dunia?
Beribadah dalam konteks ini kebanyakan hanya dijelaskan sebatas membaca doa-doa seperti Yasin, Al-Mulk, serta doa-doa tahlil lainnya, kemudian yang terutama solat lima waktu disertai solat-solat sunat lainnya, dan tentu saja doa-doa khusus yang ditujukan kepada orang tua kita.
Jarang sekali disinggung, mengapa dan bagaimana sampai bisa terjadi seorang anak lupa samasekali mendoakan orang tuanya?
Apakah amalan-amalan seseorang yang bentuknya seperti membaca kitab suci Al-Quran, berzikir, berzakat, sedekah, berpuasa, ber-qurban serta doa-doa tahlil sudah cukup dapat menolong apabila orang tersebut kurang menerapkan hikmah-hikmah dari amalan-amalan ibadah ritual itu dalam kehidupan sehari-hari?
Apakah berharga puasa seseorang yang masih mementingkan diri sendiri?
Apakah berharga zikir seseorang apabila sehari-hari ia masih enggan mengatakan hal-hal yang baik?
Apakah berharga qurban seseorang apabila ia sering tidak bersikap adil?
Ada sekelompok pengurus mesjid didekat rumah. Ada seorang yang selalu memojokkan seorang yang lain dalam setiap rapat. Orang yang suka disudutkannya itu adalah ketua remaja mesjid saat itu. Ketika ia menjabat pekerjaannya itu, masih sering ada gotong royong membersihkan mesjid di hari minggu, karpet dan ambal mesjid selalu di bersihkan apalagi menjelang hari raya, meski dengan dana serba terbatas, masih ada kegiatan-kegiatan rutin di mesjid. Rasa tidak puas tentu saja mungkn ada, tetapi menyudutkan sesama pengurus yang duduk bersama mengurus mesjid apakah tujuannya? Orang yang menyudut-nyudutkan si ketua remaja mesjid ini bukan orang yang tidak hafal juz amma, bukan orang yang tidak rajin ke mesjid, dan juga bukan orang yang tidak punya ilmu agama.
Kemudian, ketika mau dibentuk sebuah badan koperasi mesjid. Maka warga sekitar mesjid di ajaklah turut berpartisipasi. Muncullah diantara mereka yang berambisi menjadi ketua koperasi, padahal orang-orang tahu siapa diantara mereka yang punya kompetensi dan pengalaman kerja untuk mengurus koperasi, dan orang itu tidaklah berambisi sebagaimana yang satunya itu. Akhirnya diputuskanlah orang yang berambisi itu memegang jabatan ketua, karena dibanding dengan orang yang punya pengalaman tapi tidak berambisi itu, si ketua koperasi ini adalah juga orang yang aktif dan punya pengaruh di lingkungan mesjid. Berbeda dengan si orang pengalaman tapi hanya sekedar jemaah biasa saja. Sekarang ini koperasi tidak berjalan dan gagal, sementara itu pengurus mesjid pun jarang-jarang ada kegiatan, hari raya haji yang seharusnya merupakan hari berbahagia bagi umat islam sekitar mesjid, terasa hambar dan biasa-biasa saja.
Apakah pada akhirnya seorang muslim imannya diukur dari:
berapa banyak ia menghafal ayat-ayat suci Al-Quran pada lidahnya saja,
atau dari seberapa lancarkah ia melantunkan ayat-ayat Quran tersebut,
atau dari seberapa sering dia mengikuti pengajian dan perwiridan,
atau dari seberapa hafalnya ia membaca tahlil dan bermacam-macam doa,
atau dari seberapa seringnya ia menjadi imam solat, khatib, muazin, dan sejenisnya,
atau seberapa seringnya ia membuat rujukan hadist-hadist dalam perbincangannya,
atau seberapa hafal dan pahamnya ia pada syariat fikih islam,
atau seberapa pandainya ia menilai perbuatan orang sesuai tidaknya dengan akidah islami,
atau dari seberapa dekatnya ia berpakaian menurut sunnah Nabi,
ataukah iman itu hanya diukur dari sejauh dan sebanyak mana ilmu agama seseorang, bukan kepada Allah semata kita serahkan urusan mengukur iman itu kita pasrahkan?

Pada akhirnya saya berkesimpulan dengan tergesa-gesa bahwa apabila seseorang mempelajari ilmu agama secara serba sedikit adalah sebaiknya ia juga berusaha mengamalkan ritual ibadahnya juga, dan mempelajari ilmu non-agamanya untuk kepentingan keimanan dan agama islamnya. Sehingga ia dapat meluruskan atau mencari jalan yang lurus bagi ilmu-ilmu non-agama yang ia pakari.
Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mempelajari ilmu agama serba mendalam, mengamalkan secara ketat ritual ibadahnya, tetapi jangan hanya sebatas jumlah yang di hafal dan pengertian yang juga berdasarkan hafalan, gunakanlah dan perdalam jugalah ilmu-ilmu non-agama untuk melatih kedalam berpikir agar tidak sia-sia hafalan-hafalan agama itu. Sehingga ia bisa meluruskan atau mencari jalan yang lurus bagi ilmu-imu non-agama yang ia pelajari.
Dan saya cuma bisa berdoa semoga kita dilepaskan dari cobaan memiliki pemimpin-pemimpin negara yang tidak becus memerintah, dan di kurniakan dengan alim-ulama yang tidak hanya berkhotbah dan berdakwah berdasarkan apa ia dapat dari kumpulan buku-buku khutbah atau dari guru-gurunya saja, tetapi punya kemampuan menganalisa keadaan umat disekitarnya dan memberikan dakwah yang bermanfaat langsung bagi hajat hidup orang banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘