Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 16

Manusia yang peminta-minta dan Allah Yang Maha Memberi Pertolongan: Tentang Egoisme Manusia dan Rusaknya Alam.

Kadang-kadang diri ini merasa begitu tak berdaya dan begitu marah dengan keadaan. Keadaan umat manusia dan juga keadaan diri sendiri dan keluarga. Kadang-kadang rasa putus asa itu muncul, mengapa pertolongan tak kunjung datang? Mengapa tak ada tanda-tanda pentunjuk untuk keluar dari masalah diberikan? Mengapa ini dan itu tak kunjung ada? Mengapa adik yang sakit tak kunjung sembuh? Kenapa ibu yang selama ini menjaga diri dan baik-baik saja harus menderita sakit juga? Kenapa-kenapa dan kenapa kesulitan ini dan itu selalu muncul silih berganti?
Apakah menjalani hidup dengan berbuat baik sesamanya, menghindari keributan, menghindari percekcokan, menghindari gosip dan ngalor ngidul, bekerja dengan tepat waktu, tekun dan mengeluarkan kemampuan sebaiknya, tidak mengeluh, tidak menuntut macem2, selalu berpikir yang baik tentang orang lain, apakah semua usaha untuk menjadikan hidup ini lebih baik tanpa mengorbankan orang lain tidak cukup baik?

Apakah menjalani hidup dengan berbuat baik, dan menjaga apa yang diberikan Allah sebaik mungkin, masih kurang baik? Lama-lama aku seperti merasa Allah ini sangat penuntut. Baik kurang baik, dan ketika kita mengharapkan bantuanNya, kita bahkan hanya bisa berharap karena adalah hak mutlak Dia mau menolong atau tidak.

Kekesalan semacam ini kadang-kadang mendesak keluar menjadi sebuah pertanyaan klasik,”Mengapa, ya Allah, mengapa kau beri kami cobaan seperti ini? Apa salahku, ya, Allah, sehingga Kau siksa perasaan ini?”

“…hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohonkan pertolongan…” (1:5)

“…mohon pertolonganlah kepada Allah dan kemudian bersabarlah…” (7:128)

“…mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat…” (2:153)


Manusia ini pada dasarnya mempunyai sifat lagak dan sombong, egois yang mementingkan diri sendiri serta sangat mudah lupa diri apabila mendapatkan kesenangan-kesenangan duniawi terus-menerus. Kita, manusia yang mudah lupa diri ini, misalkan mendapatkan berbagai kesulitan-kesulitan hidup selalunya ingin mencari kambing hitam berupa sesuatu atau seseorang untuk disalahkan. Setelah kesusahan-kesusahan berlalu dan kesuksesan hidup kembali didapat maka dengan entengnya kita suka mengklaim bahwa,”Ini adalah karena usaha susah payah kami sendiri.”

Sifat manusia yang congkak dan mudah lupa diri ini ditamsilkan oleh Allah S.W.T dalam kisah Nabi Musa a.s dan kaum Fir’aun sebagaimana terberitakan dalam surah Al- A’rāf ayat 130 – 131:
“ Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir’aun dan kaumnya dengan (kemarau panjang) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran.”
“Kemudian apabila kemakmuran didatangkan kembali pada mereka, mereka katakan,”Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.”


Kita manusia ini adalah mahkluk peminta-minta, setiap mengalami kesusahan segala cara dan akal bulus kita saja muncul menggoda. Seringkali pula dengan alasan kesulitan hidup, kita menghalalkan berbagai cara. Sanking terbiasanya kita pura-pura tidak tahu bahwa apa yang kita lakukan itu tidak benar, maka hati kita pun pada akhirnya tertutup. Memang Allah-lah yang memberi petunjuk kepada orang-orang yang Ia kehendaki dan Ia pula yang menyesatkan siapa-siapa yang Ia kehendaki pula. Akan tetapi kesesatan itu bukanlah jalan yang ditunjukkan oleh Allah, melainkan kita manusia yang mudah lupa diri, suka berpura-pura dan terbiasa dengan perbuatan tidak baik dengan alasan kesulitan hidup, akhirnya membuat sendiri jalan kesesatan itu.

“…Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merubah diri mereka sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terjadi pada suatu kamu, maka tak ada yang dapat menolak dan tidak ada pelindung dari mereka selain Dia.”(surah 13:11)

Intinya baik buruknya kehidupan seseorang atau nasib sesuatu kaum atau manusia adalah karena perbuatannya mereka sendiri (45:11, 17:7, 6:104). Memang dinyatakan bahwa Allah S.W.T adalah sebaik-baiknya Penolong dan Pelindung manusia dan alam semesta (surah 3:173, surah 8:40), tetapi itu tidak berarti setiap membutuhkan pertolongan lalu kita hanya sekedar meminta dan menunggu pertolongan dari Allah tanpa mengusahakan sesuatu secara halal. Pertolongan-pertolongan dari tangan-tangan yang haram adalah cobaan dari Allah, meskipun pada saat itu kita tidak punya harapan apa-apa lagi.

Demikianlah bagaimana egoisme manusia yang pelan tapi pasti menghancurkan bumi yang diciptakan sebaik-baiknya untuk manusia. Padahal tentang perusakan alam oleh manusia ini sudah diperingatkan oleh Allah dalam surah 7 ayat 56:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik…”

Sayangnya, saat seluruh dunia makin gencar mendengung-dengungkan isu tentang kerusakan alam, para ulama kita jarang sekali ikut berdakwah serta gencar mengingatkan bahwa kerusakan alam mencerminkan juga kerusakan moral dari manusia yang merusaknya. Para ulama kita jarang sekali mengambil kira persoalan alam ini berkaitan dengan persoalan kesesatan manusia. Egoisme juga melanda dakwah-dakwah mereka yang kebanyakan meributkan persoalan kerusakan individu akibat tidak beriman, tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, tidak bersedekah, berbuat dosa, berzinah, minum khamar, dan makan-makanan haram serta merampas harta anak yatim.

Umpama bumi ini adalah warisan bagi anak cucu kita kelak, maka manusia yang merusak alam secara langsung maupun tidak langsung sama halnya merampas hak dan harta anak yatim. Karena alam ciptaan yang baik dari Allah adalah peninggalan untuk anak cucu manusia yang kelak semuanya akan mengalami ke-yatim-an. Sayang sungguh di sayang, dakwah-dakwah ulama dan mubaligh kita cenderung berorientasi pada persoalan ibadah formal manusia kepada Allah semata dan sedikit sekali mengaitkannya dengan ‘menjaga apa-apa yang sudah diciptakan’ oleh Allah S.W.T sebagai wujud lain dari ibadah amar ma’ruf nahi mungkar. Hampir tidak ada demonstrasi dan unjuk rasa dari pihak ulama dalam memperjuangkan penjagaan bumi dan alam sekitar sebagai wujud perbuatan yang lebih besar manfaatnya daripada mudaratnya. Jarang pula media-media memberitakan ulama-ulama yang juga pejuang pelestarian lingkungan hidup. Seolah-olah persoalan perusakan lingkungan hidup bukanlah menyangkut persoalan lemahnya keimanan seorang muslim.

Bumi yang asri dan indah ini diciptakan oleh Allah, kemudian manusia menghuninya dan berbuat kerusakan diatasnya. Ketika datang bencana alam, maka manusia meminta kepada Allah agar dihindarkan dari masalah-masalah. Kita mengeluh ketika urusan pribadi kita mulai terganggu, padahal selama ini kita sebagai manusia selalu egois dan tidak perduli pada lingkungan sekitar kita. Sangkin asyiknya beramal untuk akherat, kita lupa tugas kita sebagai khalifah di bumi untuk menjaga dunia dari kerusakan, bukan hanya kerusakan moral manusia tapi juga kerusakan bumi dan lingkungan hidup.

Allah S.W.T melalui ajaran-ajaran Islam mewariskan bumi di tangan manusia, dan Islam memandang dunia secara menyeluruh utuh dan holistik, bukan sepotong-sepotong atau terpecah-pecah. Rusaknya alam mencerminkan pula rusaknya manusia, rusaknya moral manusia juga mencerminkan rusaknya dunia, bumi dan manusia tidak terpisahkan. Meskipun menurut para malaikat, manusia bukanlah makhluk yang mudah diberikan kepercayaan, tetapi Allah t’lah memberikan kepercayaan itu kepada manusia untuk menjadi kalifah (bergenerasi) di bumi (2:30).

“Telah timbul berbagai kerusakan dan bala di darat dan di lautan dikarenakan perbuatan tangan manusia; (hal ini karena) Allah ingin mereka merasakan kembali sebagian dari akibat perbuatan buruk yang telah mereka lakukan, agar mereka kembali (insyaf).” (30:41)

Referensi:
Al Quranul Karim
http://www.icmi.or.id/ind/content/view/167/73/
www.islam.gov.my/khutbahjakim/upload/doc/
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3316&Itemid=60
http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=155
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/16/0902.htm
http://islamlib.com/id/index.php?id=760&page=article

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘