Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 15

Seringkali, dalam berargumen berkenaan dengan keimanan, keagamaan, kita membuat perbandingan yang kurang baik dengan menunjuk pada subjek dan predikat 'seseorang yang...' atau 'orang yang...' atau 'mereka yang...'. Semua posisi yang tidak baik ada pada orang lain, sehingga dalam membacanya seakan-akan posisi kita sendiri yang kita muliakan. Tetapi barulah di ujung argumen penulisan biasa kita tulis, 'Semoga tulisan ringkas ini berguna bagi diri penulis sendiri dan juga orang lain dstnya....'
Ada baiknya sedari awal argumen, kita mulai membiasakan untuk menulis dengan rendah hati dan penuh keinsyafan diri. Karanglah dengan nada seakan-akan argumen penulisan kita itu adalah untuk berdialog menasihati diri kita sendiri sehingga ketika membacanya orang yang membaca akan merasa seolah-olah sedang membaca untuk dirinya sendiri.

Contoh seumpama ini biasa kita temui:
...seorang ulama/ustazd berkata padanya seorang aktivis sekuler...
Disini cerita sudah dimulai dengan membuat dikotomi. Si ulama diikhtiarkan sebagai posisi yang benar dan aktivis sekuler berada dipihak lawan. Aktivis sekuler ini kita tidak ketahui siapa dia dan karena apa diperlukan 'pelabelan sekuler' dalam cerita ini. Sekuler punya arti yang tidak mudah dipahami kalau kita pisahkan dari konteks sejarahnya. Al Attas menguraikan dalam sebuah bukunya secara panjang lebar tentang kesejarahan dari sekuler, sekulerisasi dan sekulerisme.
Islam tidak mengenal ketiga-tiganya, tidak terdapat bahkan padanan kata yang sesuai untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa arab. Hal ini dengan sendirinya menyulitkan untuk di pahami oleh umat islam konsep sekuler ini. Namun, sayangnya ramai sudah sebagian dari kita dengan mudahnya melekatkan label 'sekuler' kepada hal-hal, orang-orang, benda-benda yang kita anggap tidak sesuai akidah dan syariat islam (dalam pandangan kita sendiri yang berdalilkan rujukan pada kaum ulama kononnya).
Sebenarnya sikap kita yang suka memisah-misahkan, membuat dikotomi antara aku dan kau, itu dapat dikategorikan kegiatan men-sekuler-kan. Memisahkan iman dan akal, membeda-bedakan lelaki dan perempuan, dan juga tidak menjadi satunya antara kata-kata dan perbuatan. Seharusnya kita yang taat beribadah secara formal maupun informal menunjukkan kualitas manusia yang lebih dari yang lain. Bukan sekedar lebih taat dan lebih banyak berdoa, lebih tepat waktu, tetapi juga lebih memberi sedekah, lebih banyak membantu, lebih banyak berkata-kata dengan sabar dan baik, lebih banyak bersabar.
Tepat waktu dalam shalat lima waktu seharusnya tercermin dalam keseharian yaitu ketepatan waktu masuk kerja, kemampuan berpuasa sebulan penuh dengan baik dan sabar seharusnya juga tercermin ketika menghadapi masalah-masalah kritikal di tempat kerja. Adab bersuci dalam beribadah formal seharusnya tercermin pula dalam keseharian umat islam yang rajin membersihkan rumah, tempat kerja dan lingkungan dimana mereka berada. Kalau ada diantara kita yang memisah-misahkan antara formalitas ibadah dengan implementasinya dalam kegiatan sehari-hari, itu bermakna islam yang diamalkan kita ini tidak holistik, tidak menyeluruh menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dan kalau seseorang itu menafikannya, secara tanpa sadar ia sendiri sudah mulai men-sekuler-kan antara agama-nya dan kehidupan-nya.

Sebenarnya dalam kesempatan ini, saya ingin membahas serba sedikit tentang kebiasaan hubungan atau pergaulan antara lelaki dan perempuan dalam masyarakat kita. Terlalu sering sudah saya membaca tulisan-tulisan yang bersifat reduksionis. Terlalu sering kita jumpai alasan untuk menyudutkan satu pihak atau sesuatu aktivitas dengan dalil '.... merusak akidah melanggar syariat...'. Islam bukanlah agama yang diajarkan dengan menjelek-jelekan pihak lain, tetapi diajarkan untuk membuktikan diri sebagai umat yang terbaik melalui amal dan perbuatan, bukan semata-mata ketaatan pada ibadah formal tapi juga cerminan di atas sosial kemasyarakatan. Karena itu sudah saatnya apabila kita ingin menunjukkan sesuatu kegiatan merusak akidah atau melanggar syariat haruslah didukung dengan penelitian yang seksama. Kalau memang sesuatu perbuatan itu merusak akidah dan melanggar syariat akan berakibat kepada kerusakan pada masyarakat, telitilah dan kumpulkan bukti-bukti yang dapat di validasi tentang sebab dan akibat. Tunjukkan bahwa apa-apa yang kita peringatkan itu berdasarkan keilmuan yang punya landasannya mengikut Quran dan Hadist, dapat dibuktikan secara ilmiah dan orang lain pun dapat melakukan pembuktian yang serupa dengan kata lain ada realibilitasnya. Dalam hal ini kita bukan bicara soal mukjizat, tetapi persoalan yang nyata dalam masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa stereotipikal pandangan dari kita yang menilai diri cukup beriman sehingga takut terjebak dalam pergaulan yang tampak longgar dan bebas di dalam masyarakat kita. Biasanya dikatakan menjurus pada perbuatan 'zina' dan menimbulkan 'fitnah'.
1. Pulang berdua.
Remaja biasa terlihat pulang bersama-sama teman2 satu geng-nya. Kalau yang pulang berdua (berlainan jenis) biasanya suka di godain teman-teman yang lain. Lagi pendekatan kalau belum pacaran, dan mesra kalau yg sudah pacaran. Bagaimanapun pulang berdua-duan membawa pada konotasi tentang hubungan yang rapat. Berdua dengan teman sekolah, teman kampus, teman kantor.
Menanggapi hal ini, pertama-tama kita perlu meletakkan dulu akhlak islami dalam diri kita sebelum melakukan penilaian terhadap mereka yang pulang berdua. Islam mengajarkan agar kita tidak dibiasakan untuk 'berburuk sangka' - su'udzon. Kedua niat adalah hal yang utama dalam segala perbuatan. Kalau niat itu karena Allah Ta'ala, insya Allah terhindar dari perbuatan yang buruk, tapi kalau niat itu bukan karena Allah Ta'ala tetapi karena ada tujuan2 tertentu lainnya, maka meskipun perbuatan itu tampaknya baik di mata orang-orang, tapi kebaikan itu semu semata.
Memang mudah menjeneralisasikan setiap apa yang tampak oleh mata kita, apalagi jeneralisasi itu diungkapkan oleh seseorang yang kita percayai kata-katanya. Islam adalah ajaran yang kritis, dalam Quran setiap aspeknya adalah bentuk kritisisme, paling sederhananya adalah kisah para Nabi yang pada masing-masing jamannya merupakan orang-orang paling kritis yang mendapat petunjuk dari Allah.
Jadi tentang kegiatan 'pulang berdua' yang dilakukan oleh pasangan yang bukan muhrim, tidak ada larangan haram sebagaimana larangan meminum khamar dan makanan yang diharamkan seperti babi. Tetapi banyaknya dalil dan nash yang merupakan peringatan bagi manusia untuk menghindari kegiatan ini. Disini berarti sebagai umat manusia kita terus menerus diingatkan untuk menghindari hal-hal yang bisa menjurus kepada ketidakbaikan. Karena itu kalaupun kita hendak pulang berdua, harus dijelaskan niat yang ada. Menemankan pulang seorang perempuan ketika malam dikarenakan kita punya kemudahan untuk mengantarkannya dengan niat melindungi kaum ini dari perbuatan jahat adalah niat yang baik. Dan perempuan yang kita antarkan pulang ini juga adalah yang mempunyai niat baik, artinya dia bukan sengaja ingin kita temankan atau punya maksud lain terhadap diri kita. Sebaik manapun niat kita yang baik, di setiap kesempatan syaitan akan menggoda. Karena itu jangan lupalah untuk meniatkan perbuatan kita karena Allah semata. Masih banyak aspek lainnya yang harus dilihat secara keseluruhan, tidak semudah itu mereduksikan atau menyederhanakan persoalan 'pulang berduaan' sebagai kegiatan yang dilarang Islam semata karena beberapa dalil yang biasa dipakai untuk mengharamkan hubungan zina atau yang dapat mengarahkan pada zina.
Misalnya bagaimana mengantarkannya pulang?
Apakah lebih dibolehkan dengan mobil daripada dengan sepedamotor atau sepeda kayuh?
Kalau dipikir-pikirkan, dari persoalan saling bersentuhan dan kemungkinan berdekapan antara lelaki dan peremupan yang bukan muslim tentu hal itu membuat kita enggan mengantarkannya. Tetapi kalau seorang lelaki itu berniat lurus dan bukan bengkok-bengkok, dan si perempuan pun tidak berniat bernakal-nakal-an, maka antarkan dengan berjalan kaki atau berkendaraan apa saja sehingga sampai di tempat dengan aman, setelah itu pulang. Jangan pula sengaja berlama-lama di rumah si perempuan dan niat semula mulai berubah.
Menghindari perbuatan yang mengarah kepada kemudaratan sangat bergantung kepada keimanan dan kemampuan mengendalikan diri seseorang. Bagi mereka yang mudah tergoda syahwat dan banyak berpikir bercabang-cabang, sebaiknya hindarilah kegiatan pulang berdua ini apalagi di waktu malam.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘