Aku terlalu sering mempertanyakan apakah para nabi dan rasul itu adalah individu yang sempurna atau bukan?
Entah bagaimana akhirnya aku mencoba memahami bahwa manusia sememangnya mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesalahan aku dalam menilai kesempurnaan itu rupanya terletak pada kekurang-tepatan dalam meletakkan sisi kemanusian dalam diri si manusia itu sendiri. Selalunya kita meletakkan kata 'Manusia' sebagai bentuk tunggal, seorang individu, padahal manusia adalah sebuah konsep mahkluk yang merujuk bukan kepada satu individu saja, tetapi seluruh manusia di dunia dan akhirat.
Kegagalan memahami konsep manusia inilah yang membawa diriku terbenam dalam sifat egosentrisme, yang tanpa disadari merasa bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Kemanakah ruh-ruh virus kecil yang berukuran atomis pergi? Kemanakah jiwa-jiwa nyamuk dan lalat yang kita semprot dengan baygon? Kemanakah kucing dan anjing pergi setelah mati? Kemankah harimau, burung-burung dan gajah pergi setelah kepunahannya?
Kalau memang benar bahwa kehidupan dan kematian ini selalu ber-reinkarnasi, hal itu bermakna neraka dan surga hanyalah simbolisasi kehidupan dan kematian yang senang dan susah saja. Akalku tidak cukup murni untuk mendapatkan ruang pencerahan tentang itu dan imanku tidak cukup tebal untuk menerima pengajaran tentang kebenaran kehidupan setelah mati. Yang aku sadari masih banyak dosa-dosa dari pikiran, nafsu, keinginan dan ego yang membenamkan kesempatan untuk dekat dan rapat dengan Tuhan.
Sebab itu aku hanya menalarnya semampu akal yang Allah berikan padaku dan seikhlas dengan iman yang sejauh ini nikmatnya aku peroleh dari Allah pula.
Egosentrisme ini membawa manusia untuk berpikir misalnya seorang khalifah berarti hanya ada satu pemimpin. Pemusatan makna khalifah menjadi 'hanya satu' bagaimana kemungkinannya untuk di wujudkan pada jaman sekarang ini? Dalam sejarahnya kita lihat sendiri bagaimana sulitnya menyatukan umat manusia apabila mereka sudah mulai tersebar meluas dan berjauhan. Setiap keadaan, tempat, cuaca, budaya dan sebagainya mengundang berbagai pertanyaan dan permasalahan yang berbeda, akankah ada seorang manusia yang mampu mengatasi itu semua? Sedangkan Rasullullah sendiri dicontohkan sendiri oleh Allah sebagai sosok manusia yang senantiasa bermusyawarah dalam kelompok kecilnya bersama para sahabat-sahabatnya. Bahkan Allah pun tidak membebankan kepemimpinan seluruh muka bumi secara fisikal kepada Rasul, bagaimana kita yang hanya manusia biasa penerus langkah nabi menafsirkan kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasul di kota Madinah sebagai proyek percontohan kepemimpinan berpusat seluruh dunia?
Seorang khalifah adalah pemimpin secara fisikal dan juga mental, secara akal dan juga iman. Apakah selain para nabi dan rasul adakah 'seorang' individu yang akan mampu menghadapi beribu permasalahan dunia tanpa bimbingan langsung dari Allah?
Tidak ada!!!
Lalu, sedangkan kita yang hanya manusia biasa mati-matian berkeyakinan akan ada seorang manusia yang dengan sendirian mampu menjadi khalifah tunggal di muka bumi, dengan alasan khalifah itu adalah orang yang mendapatkan mandat dari Rasul dan bisa memperolehi bimbingan dari Allah karena memerintah berdasarkan hukum-hukum yang sudah Allah turunkan sebelumnya.
Hanya satu letak kesalahan berpikir yang boleh saya katakan terjadi disini, yaitu, kita musti ingat bahwa kita adalah manusia yang bukan berarti hanya ada satu orang manusia yang sempurna. Tetapi keberagaman kita sebagai manusia yang memenuhi muka bumi inilah yang menjadikannya mahkhluk paling sempurna yang Allah ciptakan. Karena itu kita harus menyadari betapa lemahnya kita tanpa bimbingan dari ajaran-ajaran yang Allah turunkan melalui tangan dan lidah para nabi dan rasul. Betapa lemahnya kita! Karena itu jangalah berkeyakinan bahwa akan ada lagi seorang individu yang ditunjuk langsung oleh Allah dan dibimbing-Nya langsung melalui Malaikat suci.
Keistimewaan itu hanya diperoleh oleh manusia-manusia yang dipilih oleh Allah S.W.T. dan jelas bagi umat islam bahwa Allah sudah menutup buku pintu kerasulan di dunia, yang ada pada kita hanyalah menjadi penerus sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, kesalahan meletakkan bahwa pengurus dunia yang disebut Khalifah ini disetarakan dengan unsur Kerasulan.
Manusia bukan suka berpecah belah, tetapi kompleksitas kehidupan dan keberagaman hidup ini yang membuat manusia punya perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini diselaraskan oleh kesatuan iman pada islam, tetapi itu bukan bermakna bahwa hanya ada satu cara dan jalan menjalankan perikehidupan ini. Cara dan jalan apapun yang kita tempuh sebagai manusia harus merujuk kembali pada apa-apa yang sudah digariskan dan diajarkan melalui kitab suci tempat ajaran Allah yang diturunkan kepada Rasullullah.
Khalifah bukanlah Kerasulan, karena itu khalifah adalah manusia intelek lagi beriman. Dan kalau kerasulan pun bukan satu orang saja, tetapi ada banyak mengapa kekhalifahan harus tunggal dan satu? Kenapa bukan berbeda dan banyak tetapi satu jua kiblat dan mufakatnya? Kesalahan memaknai kekhalifahan akan menggiring manusia menjadi 'FASIS', dan hanya kepada Tuhan kita bermohon supaya dihindari dari petaka seperti itu.
Khalifah dengan serta merta sebagai seorang pemikir dan pembuat keputusan adalah juga seorang ahli agama bertaraf ulama. Itulah Khalifah sebagai alim ulama, banyak yang mengartikan alim itu berarti ilmu, dan hanya ilmu agama, dan ini menyempitkan makan alim itu sendiri, kalau memang 'ulama' itu sudah mencakupi pengetahuan ilmu tentang agama, untuk apa lagi ditambahkan kata 'alim' sebagai ilmu agama lagi?
Islam tidak pernah memisahkan alim dan ulama, berilmu dan beragama. Tetapi kecenderungan manusia suka memisah-misahkan apa yang disatukan oleh Allah. Demikian pula dengan bermacam-macam makna kata yang berkembang saat ini seperti alim ulama dan khalifah. Khalifah adalah alim ulama, dia berilmu intelek pada saat yang sama adalah seorang ulama. Akan tetapi tidak lah serta merta bahwa kalau seorang telah dinobatkan atau dianggap alim ulama atau ulama sahaja adalah langsung menjadikannya posisinya sebagai seorang khalifah.
Khalifah adalah alim ulama, tetapi alim ulama bukan berarti adalah khalifah. Khalifah dalam pengertian ini adalah dalam konteks besar dan bukan konteks kecil seperti pemimpin madrasah atau kepala sekolah agama atau kyai pemimpin pesantren. Khalifah punya tanggung jawab kepada manusia dan kemanusiaan.
Akankah ada selain para nabi dan rasul, manusia yang ditunjuk sebagai satu individu menjadi Khalifah di muka bumi ini pada jaman sekarang dan akan datang?
Entah bagaimana akhirnya aku mencoba memahami bahwa manusia sememangnya mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesalahan aku dalam menilai kesempurnaan itu rupanya terletak pada kekurang-tepatan dalam meletakkan sisi kemanusian dalam diri si manusia itu sendiri. Selalunya kita meletakkan kata 'Manusia' sebagai bentuk tunggal, seorang individu, padahal manusia adalah sebuah konsep mahkluk yang merujuk bukan kepada satu individu saja, tetapi seluruh manusia di dunia dan akhirat.
Kegagalan memahami konsep manusia inilah yang membawa diriku terbenam dalam sifat egosentrisme, yang tanpa disadari merasa bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Kemanakah ruh-ruh virus kecil yang berukuran atomis pergi? Kemanakah jiwa-jiwa nyamuk dan lalat yang kita semprot dengan baygon? Kemanakah kucing dan anjing pergi setelah mati? Kemankah harimau, burung-burung dan gajah pergi setelah kepunahannya?
Kalau memang benar bahwa kehidupan dan kematian ini selalu ber-reinkarnasi, hal itu bermakna neraka dan surga hanyalah simbolisasi kehidupan dan kematian yang senang dan susah saja. Akalku tidak cukup murni untuk mendapatkan ruang pencerahan tentang itu dan imanku tidak cukup tebal untuk menerima pengajaran tentang kebenaran kehidupan setelah mati. Yang aku sadari masih banyak dosa-dosa dari pikiran, nafsu, keinginan dan ego yang membenamkan kesempatan untuk dekat dan rapat dengan Tuhan.
Sebab itu aku hanya menalarnya semampu akal yang Allah berikan padaku dan seikhlas dengan iman yang sejauh ini nikmatnya aku peroleh dari Allah pula.
Egosentrisme ini membawa manusia untuk berpikir misalnya seorang khalifah berarti hanya ada satu pemimpin. Pemusatan makna khalifah menjadi 'hanya satu' bagaimana kemungkinannya untuk di wujudkan pada jaman sekarang ini? Dalam sejarahnya kita lihat sendiri bagaimana sulitnya menyatukan umat manusia apabila mereka sudah mulai tersebar meluas dan berjauhan. Setiap keadaan, tempat, cuaca, budaya dan sebagainya mengundang berbagai pertanyaan dan permasalahan yang berbeda, akankah ada seorang manusia yang mampu mengatasi itu semua? Sedangkan Rasullullah sendiri dicontohkan sendiri oleh Allah sebagai sosok manusia yang senantiasa bermusyawarah dalam kelompok kecilnya bersama para sahabat-sahabatnya. Bahkan Allah pun tidak membebankan kepemimpinan seluruh muka bumi secara fisikal kepada Rasul, bagaimana kita yang hanya manusia biasa penerus langkah nabi menafsirkan kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasul di kota Madinah sebagai proyek percontohan kepemimpinan berpusat seluruh dunia?
Seorang khalifah adalah pemimpin secara fisikal dan juga mental, secara akal dan juga iman. Apakah selain para nabi dan rasul adakah 'seorang' individu yang akan mampu menghadapi beribu permasalahan dunia tanpa bimbingan langsung dari Allah?
Tidak ada!!!
Lalu, sedangkan kita yang hanya manusia biasa mati-matian berkeyakinan akan ada seorang manusia yang dengan sendirian mampu menjadi khalifah tunggal di muka bumi, dengan alasan khalifah itu adalah orang yang mendapatkan mandat dari Rasul dan bisa memperolehi bimbingan dari Allah karena memerintah berdasarkan hukum-hukum yang sudah Allah turunkan sebelumnya.
Hanya satu letak kesalahan berpikir yang boleh saya katakan terjadi disini, yaitu, kita musti ingat bahwa kita adalah manusia yang bukan berarti hanya ada satu orang manusia yang sempurna. Tetapi keberagaman kita sebagai manusia yang memenuhi muka bumi inilah yang menjadikannya mahkhluk paling sempurna yang Allah ciptakan. Karena itu kita harus menyadari betapa lemahnya kita tanpa bimbingan dari ajaran-ajaran yang Allah turunkan melalui tangan dan lidah para nabi dan rasul. Betapa lemahnya kita! Karena itu jangalah berkeyakinan bahwa akan ada lagi seorang individu yang ditunjuk langsung oleh Allah dan dibimbing-Nya langsung melalui Malaikat suci.
Keistimewaan itu hanya diperoleh oleh manusia-manusia yang dipilih oleh Allah S.W.T. dan jelas bagi umat islam bahwa Allah sudah menutup buku pintu kerasulan di dunia, yang ada pada kita hanyalah menjadi penerus sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, kesalahan meletakkan bahwa pengurus dunia yang disebut Khalifah ini disetarakan dengan unsur Kerasulan.
Manusia bukan suka berpecah belah, tetapi kompleksitas kehidupan dan keberagaman hidup ini yang membuat manusia punya perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini diselaraskan oleh kesatuan iman pada islam, tetapi itu bukan bermakna bahwa hanya ada satu cara dan jalan menjalankan perikehidupan ini. Cara dan jalan apapun yang kita tempuh sebagai manusia harus merujuk kembali pada apa-apa yang sudah digariskan dan diajarkan melalui kitab suci tempat ajaran Allah yang diturunkan kepada Rasullullah.
Khalifah bukanlah Kerasulan, karena itu khalifah adalah manusia intelek lagi beriman. Dan kalau kerasulan pun bukan satu orang saja, tetapi ada banyak mengapa kekhalifahan harus tunggal dan satu? Kenapa bukan berbeda dan banyak tetapi satu jua kiblat dan mufakatnya? Kesalahan memaknai kekhalifahan akan menggiring manusia menjadi 'FASIS', dan hanya kepada Tuhan kita bermohon supaya dihindari dari petaka seperti itu.
Khalifah dengan serta merta sebagai seorang pemikir dan pembuat keputusan adalah juga seorang ahli agama bertaraf ulama. Itulah Khalifah sebagai alim ulama, banyak yang mengartikan alim itu berarti ilmu, dan hanya ilmu agama, dan ini menyempitkan makan alim itu sendiri, kalau memang 'ulama' itu sudah mencakupi pengetahuan ilmu tentang agama, untuk apa lagi ditambahkan kata 'alim' sebagai ilmu agama lagi?
Islam tidak pernah memisahkan alim dan ulama, berilmu dan beragama. Tetapi kecenderungan manusia suka memisah-misahkan apa yang disatukan oleh Allah. Demikian pula dengan bermacam-macam makna kata yang berkembang saat ini seperti alim ulama dan khalifah. Khalifah adalah alim ulama, dia berilmu intelek pada saat yang sama adalah seorang ulama. Akan tetapi tidak lah serta merta bahwa kalau seorang telah dinobatkan atau dianggap alim ulama atau ulama sahaja adalah langsung menjadikannya posisinya sebagai seorang khalifah.
Khalifah adalah alim ulama, tetapi alim ulama bukan berarti adalah khalifah. Khalifah dalam pengertian ini adalah dalam konteks besar dan bukan konteks kecil seperti pemimpin madrasah atau kepala sekolah agama atau kyai pemimpin pesantren. Khalifah punya tanggung jawab kepada manusia dan kemanusiaan.
Akankah ada selain para nabi dan rasul, manusia yang ditunjuk sebagai satu individu menjadi Khalifah di muka bumi ini pada jaman sekarang dan akan datang?
Comments