Skip to main content

Seorang Umat yang Belajar Menjadi Muslim 14

Aku terlalu sering mempertanyakan apakah para nabi dan rasul itu adalah individu yang sempurna atau bukan?
Entah bagaimana akhirnya aku mencoba memahami bahwa manusia sememangnya mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesalahan aku dalam menilai kesempurnaan itu rupanya terletak pada kekurang-tepatan dalam meletakkan sisi kemanusian dalam diri si manusia itu sendiri. Selalunya kita meletakkan kata 'Manusia' sebagai bentuk tunggal, seorang individu, padahal manusia adalah sebuah konsep mahkluk yang merujuk bukan kepada satu individu saja, tetapi seluruh manusia di dunia dan akhirat.
Kegagalan memahami konsep manusia inilah yang membawa diriku terbenam dalam sifat egosentrisme, yang tanpa disadari merasa bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Kemanakah ruh-ruh virus kecil yang berukuran atomis pergi? Kemanakah jiwa-jiwa nyamuk dan lalat yang kita semprot dengan baygon? Kemanakah kucing dan anjing pergi setelah mati? Kemankah harimau, burung-burung dan gajah pergi setelah kepunahannya?
Kalau memang benar bahwa kehidupan dan kematian ini selalu ber-reinkarnasi, hal itu bermakna neraka dan surga hanyalah simbolisasi kehidupan dan kematian yang senang dan susah saja. Akalku tidak cukup murni untuk mendapatkan ruang pencerahan tentang itu dan imanku tidak cukup tebal untuk menerima pengajaran tentang kebenaran kehidupan setelah mati. Yang aku sadari masih banyak dosa-dosa dari pikiran, nafsu, keinginan dan ego yang membenamkan kesempatan untuk dekat dan rapat dengan Tuhan.
Sebab itu aku hanya menalarnya semampu akal yang Allah berikan padaku dan seikhlas dengan iman yang sejauh ini nikmatnya aku peroleh dari Allah pula.

Egosentrisme ini membawa manusia untuk berpikir misalnya seorang khalifah berarti hanya ada satu pemimpin. Pemusatan makna khalifah menjadi 'hanya satu' bagaimana kemungkinannya untuk di wujudkan pada jaman sekarang ini? Dalam sejarahnya kita lihat sendiri bagaimana sulitnya menyatukan umat manusia apabila mereka sudah mulai tersebar meluas dan berjauhan. Setiap keadaan, tempat, cuaca, budaya dan sebagainya mengundang berbagai pertanyaan dan permasalahan yang berbeda, akankah ada seorang manusia yang mampu mengatasi itu semua? Sedangkan Rasullullah sendiri dicontohkan sendiri oleh Allah sebagai sosok manusia yang senantiasa bermusyawarah dalam kelompok kecilnya bersama para sahabat-sahabatnya. Bahkan Allah pun tidak membebankan kepemimpinan seluruh muka bumi secara fisikal kepada Rasul, bagaimana kita yang hanya manusia biasa penerus langkah nabi menafsirkan kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasul di kota Madinah sebagai proyek percontohan kepemimpinan berpusat seluruh dunia?
Seorang khalifah adalah pemimpin secara fisikal dan juga mental, secara akal dan juga iman. Apakah selain para nabi dan rasul adakah 'seorang' individu yang akan mampu menghadapi beribu permasalahan dunia tanpa bimbingan langsung dari Allah?
Tidak ada!!!
Lalu, sedangkan kita yang hanya manusia biasa mati-matian berkeyakinan akan ada seorang manusia yang dengan sendirian mampu menjadi khalifah tunggal di muka bumi, dengan alasan khalifah itu adalah orang yang mendapatkan mandat dari Rasul dan bisa memperolehi bimbingan dari Allah karena memerintah berdasarkan hukum-hukum yang sudah Allah turunkan sebelumnya.
Hanya satu letak kesalahan berpikir yang boleh saya katakan terjadi disini, yaitu, kita musti ingat bahwa kita adalah manusia yang bukan berarti hanya ada satu orang manusia yang sempurna. Tetapi keberagaman kita sebagai manusia yang memenuhi muka bumi inilah yang menjadikannya mahkhluk paling sempurna yang Allah ciptakan. Karena itu kita harus menyadari betapa lemahnya kita tanpa bimbingan dari ajaran-ajaran yang Allah turunkan melalui tangan dan lidah para nabi dan rasul. Betapa lemahnya kita! Karena itu jangalah berkeyakinan bahwa akan ada lagi seorang individu yang ditunjuk langsung oleh Allah dan dibimbing-Nya langsung melalui Malaikat suci.
Keistimewaan itu hanya diperoleh oleh manusia-manusia yang dipilih oleh Allah S.W.T. dan jelas bagi umat islam bahwa Allah sudah menutup buku pintu kerasulan di dunia, yang ada pada kita hanyalah menjadi penerus sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, kesalahan meletakkan bahwa pengurus dunia yang disebut Khalifah ini disetarakan dengan unsur Kerasulan.

Manusia bukan suka berpecah belah, tetapi kompleksitas kehidupan dan keberagaman hidup ini yang membuat manusia punya perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini diselaraskan oleh kesatuan iman pada islam, tetapi itu bukan bermakna bahwa hanya ada satu cara dan jalan menjalankan perikehidupan ini. Cara dan jalan apapun yang kita tempuh sebagai manusia harus merujuk kembali pada apa-apa yang sudah digariskan dan diajarkan melalui kitab suci tempat ajaran Allah yang diturunkan kepada Rasullullah.

Khalifah bukanlah Kerasulan, karena itu khalifah adalah manusia intelek lagi beriman. Dan kalau kerasulan pun bukan satu orang saja, tetapi ada banyak mengapa kekhalifahan harus tunggal dan satu? Kenapa bukan berbeda dan banyak tetapi satu jua kiblat dan mufakatnya? Kesalahan memaknai kekhalifahan akan menggiring manusia menjadi 'FASIS', dan hanya kepada Tuhan kita bermohon supaya dihindari dari petaka seperti itu.
Khalifah dengan serta merta sebagai seorang pemikir dan pembuat keputusan adalah juga seorang ahli agama bertaraf ulama. Itulah Khalifah sebagai alim ulama, banyak yang mengartikan alim itu berarti ilmu, dan hanya ilmu agama, dan ini menyempitkan makan alim itu sendiri, kalau memang 'ulama' itu sudah mencakupi pengetahuan ilmu tentang agama, untuk apa lagi ditambahkan kata 'alim' sebagai ilmu agama lagi?
Islam tidak pernah memisahkan alim dan ulama, berilmu dan beragama. Tetapi kecenderungan manusia suka memisah-misahkan apa yang disatukan oleh Allah. Demikian pula dengan bermacam-macam makna kata yang berkembang saat ini seperti alim ulama dan khalifah. Khalifah adalah alim ulama, dia berilmu intelek pada saat yang sama adalah seorang ulama. Akan tetapi tidak lah serta merta bahwa kalau seorang telah dinobatkan atau dianggap alim ulama atau ulama sahaja adalah langsung menjadikannya posisinya sebagai seorang khalifah.
Khalifah adalah alim ulama, tetapi alim ulama bukan berarti adalah khalifah. Khalifah dalam pengertian ini adalah dalam konteks besar dan bukan konteks kecil seperti pemimpin madrasah atau kepala sekolah agama atau kyai pemimpin pesantren. Khalifah punya tanggung jawab kepada manusia dan kemanusiaan.
Akankah ada selain para nabi dan rasul, manusia yang ditunjuk sebagai satu individu menjadi Khalifah di muka bumi ini pada jaman sekarang dan akan datang?

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘