Skip to main content

Renungan seorang umat yang belajar menjadi muslim


Bismillahirahmannirahim.
Asalamualaikum wrb.
Pertama-tama saya keataskan salawat pada Rasul Allah Nabi Muhammad S.A.W, serta Salam untuk para Sahabat-nya.
Keinginan menulis renungan ini sudah lama ada di ufuk pikiran, namun banyak faktor yang lebih seringnya membuat penulis ’urung’ daripada faktor yang mendorong untuk mengungkapkannya.
Menulis ini semata-mata penulis lakukan sebagai sebuah ibadah (kerja) sederhana, ianya ibarat sebutir zarrah diantara luasnya semesta ciptaan Allah S.W.T.
Lagipun, menulis itu seperti mengawasi diri sendiri.
Jikalau ditanyakan merujuk kepada apa penulisan ini, maka jawaban yang untuk masa ini yang dapat penulis beri adalah:
- Niat (karena Allah)
- Ijtihad (karena Allah)
Sebenarnya tanpa menulisnya pun (dalam media digital ini) Allah pun sesungguhnya sudah mengetahuinya, demikin keyakinan penulis karena berpikir dalam merenungi hidup dan kehidupan adalah kerja yang sangat intim antara seorang (manusia) dengan (Allah).
Dahulu semasa kecil, penulis suka mempertanyakan segala sesuatu kepada guru mengaji. Tentang hubungan manusia, menanyakan perkara asal usul, sifat-sifat, cara pikir, cara bertindak, dan sebagainya. Rasa-rasanya hampir semua dijawab dengan memuaskan oleh pak guru dengan mengambil contoh dari kisah nabi, kisah sahabat, riwayat rasul, dan sebagainya.
Setelah dewasa, penulis memahami bahwa apa-apa yang menjadi pertanyaan semasa kecil adalah hal lumrah yang biasa ditemui dalam perkembangan psikologi. Dari berbagai pertanyaan yang pernah diajukan, kini penulis temukan keterangan lebih lanjutnya dalam berbagai perkembangan ilmu pengetahuan manusia seperti anthropologi, ilmu sosial, seni dan budaya, sains dan teknologi.
Allah memberi manusia ’akal’ dan menyertainya dengan ’nurani’ atau budi, dan Ia mengetahui bahwa manusia akan mencari tahu dengan sendirinya. Manusia akan belajar memahami lebih lanjut apa-apa yang sudah Allah berikan, tapi Ia juga mengetahui bahwa manusia akan dapat berlebihan sehingga dapat menyusahkan diri sendiri. Seperti yang dapat kita perhatikan dalam cara hidup sekarang ini, yang banyak dengan sesuatu yang melampaui ’hyper’ maka bukan berarti serta merta kehidupan sekarang ini adalah musuh dari keimanan, karena tiada mungkin sesuatu apapun terbentuk dan terjadi tanpa seizin Allah.
Dari kecil hingga dewasa ini, penulis merasa tiada pernah menjadi sepenuhnya, karena itulah renungan ini penulis katakan sebagai ’renungan seorang umat yang belajar menjadi muslim’.
Islam diartikan berserah diri, umat islam diartikan sebagai umat yang berserah diri. Sulitnya, berserah diri terlanjur berdekatan dengan kata-kata ’menyerahkan diri’ dalam konteks hubungan manusia dengan manusia. Untuk itu ’berserah diri’ harus dijauhkan dahulu dari maknawi hubungan manusia dengan manusia, tetapi didekatkan kepada maknawi hubungan manusia dengan Khaliqnya.
Berserah diri adalah sebuah upaya yang terus menerus berlangsung sepanjang hidup manusia, baik dalam senang maupun susah. Kesempurnaan berserah diri diuji untuk terakhir kalinya manakala Malaikat Izrail sudah datang menjemput.
Secara mikro, umat islam berarti merujuk kepada umat yang menjalankan rukun islam dan rukun iman. Secara makro, umat islam merujuk kepada sesiapa saja yang ’menyerahkan diri’ kepada Khaliq-nya. Ini sebuah renungan sederhana dan barangkali rapuh dari penulis sendiri.Ajaran Islam bukan hanya untuk kepentingan umat islam mikro saja, yaitu misalnya para penganut agama islam seperti penulis.

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisasi Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Profesi Tanpa Masa Depan

 [draft]  Logika kapitalisnya kira2 begini: ada tren PTSpts menurunkan std renumerasi dosen, tp std gelar naik ke S3. Lalu, dengan Negara mensubsidi konon kesejahteraan dosen melalui insentif jafung, serdos, dan hibah2 riset, abdimas, maka dgn jaminan dosen2 S2/S3, maka PTSpts menaikkan std intake spp, namun...Renumerasi pokok dosen diturunkan, dgn logika dosen2 mengurus administrasi dan memenuhi syarat2 BKD PAK dsbnya, akan mendapatkan insentif2 tsb diatas. Sehingga menghemat pengeluaran2 utk menggaji dosen2.Kita belum bicara soal kapitalisasi dan dominasi scopus indeksasi jurnal. Indonesia yg begitu besar dan luas, mungkin bakal kalah rankingnya QS, dll ,  sekejap lagi dgn Brunei.

ketika seseorang tiada berdaya

Ketika orang tak berdaya, dan ia tak punya tempat untuk berpaling memohon pertolongan, sedangkan hatinya t’lah melupakan Sang Khaliq maka kekerasan adalah jalan pintas untuk membalas. Ketika pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba sedangkan jiwa seseorang itu tak mampu lagi menarik hikmah dari kejadian yang menimpa dirinya, maka sekali lagi kekerasan adalah jalan pintasnya. Si Miskin yang miskin harta sekaligus miskin jiwanya berjumpa dengan Si Kaya yang kaya harta tapi miskin jiwanya seperti Si Miskin. Si Miskin berburuk sangka, demikian pula Si Kaya berburuk sangka pula. Si Miskin karena kemiskinannya berpikir Si Kaya-lah penyebab kemiskinan-kemiskinan di dunia. Si Miskin yang karena kemiskinannya kurang makan ditambah pula miskin jiwanya pada akhirnya menjadi bermalas-malasan. Sedangkan Si Kaya karena kesuksesannya menjadi lahap makan tak kenyang-kenyang, enak kurang enak, sedap kurang sedap, sementara jiwanya tetap kosong kelaparan pada akhirnya menjadi bermalas-malasan ju

Osamu Tezuka and The Heart of Manga

Pada awalnya di Jepang, komik secara umum di kenal dalam dua bentuk, yaitu ‘manga’ dan ‘gekiga’. Manga sebagai model komik yang mendapat pengaruh dari masuknya kartun-kartun eropa dan amerika generasi awal, yang muncul terlebih dahulu menjadi sedemikian populernya sehingga menjadi role model dalam membuat komik. Kemapanan ini menimbulkan pergerakan dari pinggiran, anak-anak muda banyak yang menginginkan perubahan dan mencari bentuk-bentuk baru. Muncullah ‘gekiga’ yang secara harfiah bertolak belakang dengan ‘manga’ secara umum pada masa itu. Gekiga mengambil sudut pandang realisme-sosial yang menggunakan pendekatan yang lebih dramatis dan moody, tetapi biasanya penuh aksi laga yang menyangkut kondisi masyarakat pinggiran yang keras. Begitulah sekilas tentang ‘manga’ dan ‘gekiga’ sebagai rival yang saling menyeimbangkan, sebelum akhirnya muncul sebuah nama yang secara tak langsung menyatukan kualitas kedua bentuk komik Jepang tersebut, yaitu Osamu Tezuka, sang ‘Manga no Kamisama’ atau ‘